Selasa, 24 Agustus 2010

MEJA PERJAMUAN TUHAN atau MEJA GEREJA ?

Suatu Tinjauan Etis Teologis Ibadah Perjamuan Kudus Dewasa ini
Karya: Josep P. Matondang

I.Pendahuluan
Selama 12 tahun penulis melayani sebagai pendeta, pelayanan Perjamuan Kudus termasuk salah satu pelayanan yang saya anggap sebagai sesuatu yang amat sakral dan penuh dengan misteri. Alasannya bahwa pelayanan ini dianggap sebagai suatu privatisasi pendeta dibanding dengan pelayan-pelayan lain di gereja. Umumnya gereja-gereja sekarang ini memahami bahwa yang boleh melayankan Perjamuan Kudus adalah yang telah menerima tahbisan pendeta atau pastor.
Di dalam buku Konfessi GKPA jelas disebutkan bahwa yang boleh melayani sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah pendeta . Jabatan-jabatan lain seperti Guru Jemaat dan para penatua tidak diperbolehkan untuk menjalankan tugas ini.
Bagi penulis sendiri sebenarnya alasan-alasan privatisasi ini tidaklah begitu jelas, hanya mengikuti warisan gereja yang sudah ada. Setelah mengikuti diskusi tentang topik ini, penulis tergugah untuk mengkaji lebih jauh tentang nilai-nilai etis yang terkandung dalam perjamuan sebagaimana mandat yang telah diberikan Yesus kepada murid-muridNya “perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku” (Lukas 22:19).
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji lebih jauh Perjamuan berdasarkan perspektif Alkitab, implementasi dan pergeseran Perjamuan, warisan perjamuan masa kini, nilai-nilai etis perjamuan, dan penutup. Penulis berharap akan menemukan nilai-nilai etis yang mendekati kebenaran atau manfaat perjamuan dalam pertumbuhan iman jemaat, serta dapat mendekati jawaban yang tepat atas sifat judul tulisan ini : Meja Perjamuan Tuhan atau Meja Gereja?

II. Latar Belakang Alkitab
Yesus melakukan Perjamuan pada malam paskah Yahudi, yang merupakan perayaan nasional, suatu perayaan kemerdekaan, pembebasan orang Israel dari perbudakan di Mesir. Yesus memberikan sesuatu yang baru, yang lebih dalam dan makna yang lebih universal tentang peristiwa tersebut .
Tissa Balasuriya melihat bahwa peristiwa Paskah memiliki konteks perjanjian dan pembebasan. Allah memanggil Musa untuk memimpin umatNya dari perbudakan, peristiwa ini bukanlah sebatas pelayanan masyarakat (social service), melainkan lebih pada pembebasan dari eksploitasi yang amat buruk dimana terjadi perbudakan yang turun temurun dan pembunuhan anak-anak. Dalam Keluaran 3 : 7 dikatakan : “ Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umatKu di Mesir dan Aku telah mendengar seruan mereka, yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku telah mengetahui penderitaan mereka”.
Perbuatan Allah di sini adalah suatu tindakan politik yang membebaskan. Peristiwa penyembelihan anak domba, dimana darahnya dioleskan di atas pintu dan dagingnya dimakan oleh anggota keluarga sebagai pertanda bahwa Allah akan melewati rumah yang ditandai untuk bebas dari kematian anak sulung adalah awal penggunaan kata paskah, yang berarti berlalu atau lewat.
Situasi peristiwa ini menandakan tujuan Allah yang lebih besar untuk pembebasan karena mereka tidak akan mampu untuk membebaskan diri mereka sendiri melalui perbuatan baik, doa-doa dan persuasi yang lain, tapi Allah bertindak. Tindakan Allah ini menjadi suatu gerak bersama yang memunculkan partisipasi umat menyambut karya Allah dengan penyembelihan anak domba sebagaimana dikatakan oleh Balasuriya bahwa umat Israel harus berpartisipasi untuk usaha pembebasan Allah ini . Melalui uraian singkat peristiwa Keluaran ini, dapat direfleksikan bahwa yang sangat penting adalah inti peristiwa sejarah Israel dalam Perjanjian Lama telah merupakan suatu peristiwa politik, dalam konsep Perjamuan Paskah sangat erat hubungannya dengan umat Israel untuk pembebasan dari eksploitasi perbudakan dan pembunuhan.
Sejarah Israel menunjukkan di kemudian hari melalui suara-suara nabi diperlihatkan bahwa ritual Paskah kehilangan makna yang sesungguhnya.
Dalam Yesaya 58:7-8 dikatakan : “supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.
Yesaya menunjukkan nilai-nilai etis yang dihilangkan oleh umat Israel dalam acara pemecahan roti yang sebenarnya tidak hanya sebatas ritual, tapi lebih jauh adalah suatu kepedulian sosial, tindakan pembebasan perbudakan dan ‘shelter’. Demikian juga suara dari nabi Amos yang mengatakan
“ Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu……. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.
Disini Amos menekankan bahwa perayaan dan ibadah Israel kehilangan maknanya ketika umat itu melupakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dari kehidupan sehari-hari. Boleh saja umat itu berkembang secara ekonomi dengan baik, sejahtera dan utuh di tanah Kanaan, namun ketika melupakan masalah-masalah keadilan dan kebenaran, maka Allah menunjukkan ketidakpuasanNya terhadap ibadah umat Israel. Nilai-nilai kebersamaan sebagai umat pilihan Allah adalah realitas penekanan pokok dalam kehidupan religiusitasnya.
Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa istilah yang dipakai untuk sebutan Perjamuan ini, yang umum dipakai adalah “Perjamuan Kudus” (Holy Communion), suatu istilah yang diangkat dari Paulus dalam I Korintus 10:16. Di sini lebih ditekankan artinya kepada partisipasi dan berbagi rasa. Dari istilah ini akan memberi lebih jelas makna kepada koinonia. Istilah yang kedua adalah Perjamuan Malam Tuhan (Lord’s Supper), yang menggambarkan makanan biasa gereja (Church common meal) sebagaimana tertulis dalam I Korintus 10:21. Istilah yang ketiga adalah pemecahan roti (breaking of bread) yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 2:24, istilah ini erat hubungannya dengan Jamuan Malam Tuhan. Istilah yang keempat adalah Eukaristi, yang berarti ucapan syukur (thanksgiving), yang didasarkan ucapan syukur pada Perjamuan malam Tuhan . Dari istilah-istlah yang dipakai untuk menunjukkan Perjamuan memberi suatu gambaran umum bahwa perjamuan itu bersifat komunal di antara orang-orang yang percaya kepada Yesus untuk bisa saling berbagi (sharing).
Untuk mengetahui makna Perjamuan dalam Perjanjian Baru, peranan Yesus sebagai Juruselamat di dalam masyarakat pada saat itu sangat penting, sebagaimana pendapat Balasuriya bahwa Yesus memberikan suatu makna baru dan relevansi yang lebih luas dari perayaan paskah umat Yahudi, namun Yesus memakai makna simbolik dan perayaannya . Yesus menawarkan roti dan anggur sebagai makanan dan minuman adalah juga sebagai simbol kesatuan (unity) dari semua peserta perjamuan itu sendiri, termasuk di dalamnya salah seorang yang mengkhianati Yesus. Dalam hal ini Yesus tidak memberikan satu kriteria layak atau tidak layak untuk mengikuti Perjamuan malam, sebagaimana diperlihatkan bahwa salah seorang yang mengkhianatiNya sendiri mendapat tempat dalam perjamuan.
Lebih lanjut Balasuriya melihat ada beberapa aspek dalam perjamuan tersebut yaitu : yang pertama adalah makanan (meal), perayaan paskah Yahudi, suatu perayaan atas panggilan kembali Allah atas pembebasan. Yang kedua, kehadiran Yesus dalam perjamuan sebagaimana dikatakanNya “Inilah tubuhKu”. Aspek kehadiran Yesus dalam perjamuan adalah undangan untuk merespons persembahan diriNya dan komitmenNya dalam hubungan sosial, dan aspek yang ketika yang berhubungan dengan undangan Yesus adalah peringatan akan penderitaan dan kematianNya dan aspek yang keempat adalah pembaharuan perjanjian “inilah darah perjanjianKu, yang dicurahkan bagi banyak orang” (Mrk 14:24). Dari keempat aspek ini, pemikiran dari Yesus bahwa Perjamuan secara esensial berorientasi pada aksi (action-oriented).
Peranan doa dalam perjamuan memilki hubungan yang erat dengan misi Yesus. Yesus menginginkan agar para muridNya berdoa dengan jujur, rendah hati, serius dan berhubungan dengan kehidupan nyata, dan sifat doa seperti ini lebih penting daripada formulasi kekekalan, ritus-ritus dan kesepakatan. Yesus menentang doa yang munafik, kecendrungan penekanan pada kata-kata tanpa maksud yang serius.
Dalam perjamuan, Yesus berdoa, suatu doa yang diucapkan atas makanan dalam kebersamaan dengan para rasul. Konteks perjamuan ini adalah perayaan Yahudi dimana setiap keluarga seharusnya merayakannya. Tidak ada pakaian keimaman dan hal-hal yang rahasia. Tapi di dalamnya ada penegasan komitmen akan cinta kasih, pelayanan dan persekutuan (fellowship).
Paulus menekankan bahwa Perjamuan menjadi suatu ‘sharing’ yang nyata dimana komunitas adala satu kesatuan yang membentuk satu tubuh sebagaimana dikatakan dalam 1 Korintus 10:16-17: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”
Sejauh ini Paulus menekankan bahwa Perjamuan adalah menuntun kepada kasih yang lebih agung, kesatuan dan persekutuan di antara pribadi-pribadi dan kelompok. Balasuriya memberi dua sudut dimensi Perjamuan dalam pikiran Paulus yaitu dimensi kasih yang bersifat pribadi dan dimensi aksi sosial. . Perjamuan ini akan kehilangan maknanya kalau tidak menekankan kesederajatan dan pembangunan komunitas yang nyata.
Dari praktek Perjamuan baik yang dilakukan oleh Yesus maupun gereja mula-mula dapat dilihat bagaimana kedekatan antara Yesus dengan murid-muridnya, demikian juga antara Rasul dengan semua anggota jemaat. Hal ini memberikan gambaran akan kehangatan dan keterbukaan antara yang satu dengan yang lain dalam sharing karena pemahaman yang telah dibangun dalam komunitas adalah kesederajatan dan partisipasi bersama (egalitarian).

III. Perubahan dalam sejarah praktek Perjamuan.
Uraian di atas menggambarkan pelaksanaan Perjamuan Yesus yang menekankan pada peristiwa pembebasan Allah dari perbudakan, dimana partisipasi umat Tuhan mutlak diperlukan, dilaksanakan secara kekeluargaan dan kehangatan. Di kemudian hari perjamuan adalah simbol kemenangan, yang dirayakan di altar-altar yang tinggi. Memang perjamuan nampaknya tetap menjadi inti (core) ibadah kekristenan, tetapi mengalami perubahan yang diatur maknanya dan kebutuhannya menurut kelompok yang dominan. Dengan kata lain Perjamuan itu mengalami evakuasi, pergantian dan distorsi, sehingga bukan lagi keheranan kalau perjamuan itu melayani kemauan dari elit yang berkuasa . Perubahan dan distorsi yang paling radikal terjadi pada zaman Christendom, dimana gereja untuk pertama kali mendominasi kekuasaan Negara. Perjamuan dilaksanakan dalam suatu perubahan jumlah yang sangat besar sehingga ada perubahan dari yang bersifat komunal-partisipatif serta kehangatan kepada perjamuan yang sangat formal, sederhana dan individual . Demikian juga sebagaimana diuraikan oleh Balasuriya bahwa pada tahun 1100 suatu perubahan drastis terjadi dimana gereja memegang peranan penting dalam sejarah Eropa. Pada zaman ini perubahan terdapat dalam beberapa aspek, antara lain,
1. Yang memegang peranan penting dalam perjamuan adalah para imam (priest), doa-doa dilayankan dalam bahasa yang asing yaitu Latin, dimana kebanyakan orang tidak mengerti apa yang diucapkan oleh para imam. Imam mengucapkan doa dari altar dengan pelan (silent) dan terpisah dari umat. Imam menjadi pribadi yang kudus sebagai pengantara orang-orang berdosa, yang tidak layak kepada Allah yang Maha kuasa, sendirian di altar. Umat secara umum tidak bisa berpartsisipasi dalam tindakan perjamuan kudus, jadi tidak ada lagi sharing tentang kehidupan nyata sehari-hari umat.
2. Liturgi dan tradisi gereja pada waktu itu tergantung sepenuhnya kepada para imam sebagai pelayan gereja, yang dianggap dapat menghadirkan Kristus dalam ibadah, sehingga kaum awam tidak bisa menjadi pelayan dalam perjamuan. Ritus ordinasi dari imam sangat ditekankan dalam bentuk peribadatan. Perempuan dianggap tidak layak karena jenis seks yang mereka miliki untuk menjadi pelayan dalam perjamuan.
3. Perjamuan yang sebelumnya menampakkan sharing berganti menjadi penyembahan (adoration). Rasa takut akan Allah lebih kuat ditekankan daripada rasa cinta kasih kemitraan. Umat semakin jarang menerima perjamuan karena merasa tidak layak atas kebesaran Allah, dan gereja juga semakin mengurangi jumlah pelaksanaan perjamuan sehingga banyak yang tidak pernah ikut perayaan perjamuan lagi. Hanya orang-orang yang ditahbiskan yang dapat menjamah perjamuan.
Situasi semacam itu berdampak pada pendekatan individu agama dan perjamuan. Pergeseran semakin jelas kelihatan dari kehangatan dan kekeluargaan kepada bentuk yang resmi dan kriteria yang ketat serta menciptakan jarak yang besar antara pejabat gereja dan umat itu sendiri.
Teori yang berlaku dalam gereja Katolik pada saat itu, yang mengatakan ‘ex opera operato’ menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap privatisasi dan jabatan khusus dari perjamuan itu.
Protes terhadap konsep pelaksanaan Perjamuan seperti ini semakin melekat dengan gereja, sehingga ada usaha untuk mengembalikan kepada partisipasi kaum awam, telah dilakukan oleh Martin Luther sebagai bentuk reformasi, dia berbicara tentang keimaman kaum awam. Reaksi ini mengakibatkan perbedaan yang sangat besar dalam gereja Katolik pada saat itu. Namun akibatnya adalah suatu pertahanan dibangun kembali di kalangan gereja Katolik dengan penegasan Paus Alexander VII tahun 1661.
Penulis tidak bermaksud menguraikan sejarah yang lebih lengkap tentang Perjamuan ini, hanya sekedar menunjukkan bagaimana perubahan dan distorsi yang nyata dalam pelaksanaan perjamuan di tengah-tengah gereja dan pergeseran makna etis sosial. Kalaupun terjadi reformasi pada zaman Luther, namun fakta sekarang ini masih memperlihatkan adanya jarak yang besar antara Pemimpin ibadah dengan komunitas jemaat. Kritik yang lebih tajam dikemukakan oleh C.S.Song terhadap Perjamuan bahwa menurut dia gereja-gereja Ortodoks, Katolik Roma dan Protestan, masing-masing gereja membentengi meja perjamuannya dengan hukum-hukum kanon, teologi tentang perjamuan dan tembok-tembok gerejawi untuk menjaga kemurnian dan kesuciannya, sehingga Song berpendapat bahwa meja perjamuan seperti itu bukanlah meja perjamuan Tuhan, melainkan hanya meja perjamuan gereja saja.
Kritik Song menurut penulis memang terlalu tajam, seolah-olah tidak menyisakan hal-hal positif yang dilakukan gereja-gereja atas perjamuan, yang lebih tepat menurut penulis adalah gereja telah mereduksi inti perjamuan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan masih adanya keterkaitan antara perjamuan yang dilakukan gereja saat ini dengan apa yang dilakukan oleh Yesus, yaitu sedikit-dikitnya gereja masih melakuakn perjamuan sebagai peringatan akan penderitaan Yesus dan karya agung Yesus dalam penebusan. Namun penulis sangat menghargai kritik ini dan mendorong untuk menemukan makna inti dari perjamuan tersebut.

IV. Perjamuan sebagai salah satu sumber etika sosial.
Kebanyakan orang Kristen memandang bahwa sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) adalah tanda anugrah dan kehadiran Allah, yang didalamnya terkandung realitas spiritual. Roti dan anggur menitikberatkan kekayaan hidup yang dinyatakan oleh Injil . Dari kajian pada bagian sebelumnya bahwa perjamuan memiliki dimensi penting sebagai sumber etika Kristen dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai komunitas gereja maupun komunitas masyarakat. Bonhoeffer menegaskan bahwa sifat kehadiran Kristus dalam sakramen, menuntun sifat umat dalam keberadaannya menjadi anggota komunitas gereja dan juga dalam masyarakat. Roti dan anggur dalam gereja kuno adalah makanan sukacita dalam komunitas (gemeinschaft) dari persaudaraan yang saling mengasihi, yang saling membangun kehadiran Tuhan sorgawi. Dalam kaitan sakramen ini ada dua sifat realitas komunitas yang perlu diketahui yaitu Sanctorum Communio dan Peccator communion yang berarti komunitas yang dibenarkan dan komunitas yang berdosa. Kedua sifat ini terkandung dalam perjamuan dimana Yesus yang membenarkan manusia hadir bersama-sama orang berdosa, dengan demikian penulis memahami bahwa perjamuan itu adalah pertemuan orang-orang berdosa, dimana Yesus berkenan hadir untuk memberikan pembenaran. Senada dengan ini C.S.Song mengatakan bahwa sakramen yang dialami oleh Yesus adalah bersama dengan orang-orang berdosa, di dalam konteks meja perjamuan Yesus bersama orang-orang berdosa yang mengantarkan pada perjamuan terakhir, pada zaman menjelang penyalibannya, meja Tuhan harus dipahami dan dimiliki bersama. Di sini Yesus menerima semua orang tanpa terkecuali pada meja sakramentalNya. Dengan melihat praktek Perjamuan gereja-gereja saat ini pertanyaan kritis perlu di kedepankan, perjamuan itu sudah tentu berasal dari warisan historis gereja, tetapi apakah perjamuan saat ini berakar pada perjamuan sebagaimana Yesus sering lakukan dengan orang-orang berdosa dan orang-orang tersingkir?

Komisi Faith and Order dari Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches) telah menyadari pemisahan-pemisahan dunia yang terjadi, yang tergambar dalam perjamuan dan menyuarakan kembali bagaimana seharusnya gereja-gereja melakukan perjamuan, seperti yang dikatakan berikut ini : We live in a world divisions, and we have become too easily accustomed to divisions within the church. The fact that the table of the Lord has been divided remains a great scandal. There are many historical sources of this disunity. Yet today it still remains a process of the greatest difficulty to bring all Christian into one fellowship at one table to eat the one bread and drink the one cup. This is a weakness for our missionary witness and its root must surely lie in our disobedience. If Christ celebrate in full communion with all those who love him and are his forever? We plead with our churches to continue the search for that unity which will reveal the lordship of Christ.

Nilai etis yang terkandung dalam Perjamuan seharusnya menunjukkan kesatuan (unity) bukan keterpisahan dunia dimana gereja masih menunjukkan keterpecahan, dan hal ini sekaligus membawa kesulitan dalam perjamuan Tuhan untuk satu roti dan satu cawan.
Pemahaman tentang roti di sini perlu mendapat perhatian, khususnya bagi orang-orang yang tinggal di daerah tropis, dimana roti hanyalah makanan sekunder. Dalam konteks kehidupan Yesus, roti merupakan makanan pokok (staple food), yang sehari-hari menjadi makanan orang pada saat itu. Dalam kaitan ini roti perjamuan yang diberikan Yesus adalah bagian penting dalam sharing makanan pokok. Kebersamaan komunitas orang-orang percaya memberikan makna etis untuk saling berbagi makanan, sebagai wujud cinta kasih dan kehangatan persaudaraan. Demikian juga minuman anggur (wine) dalam Alkitab sering disuguhkan sebagai minuman sukacita, hal ini misalnya nampak ketika Perjamuan kawin di Kana dimana Maria dan Yesus turut diundang dalam pesta itu (Yohannes 2:1-11). Anggur yang diberikan Yesus dalam perjamuan menunjuk secara praktis akan sukacita yang terdapat dalam komunitas tersebut, saling berbagi sukacita, kalaupun dihubungkan dengan penderitaan, yang membawa kepada penyaliban Yesus, bukankah itu akan memberikan harapan terhadap komunitas yang akan memperoleh sukacita besar. Dengan indah unsur perjamuan seperti itu dalam kaitan dengan misi gereja dijelaskan oleh Arthur C. Cochrane bahwa perjamuan Tuhan adalah sumber, aliran, dan mata air misi gereja ke dalam dunia. Bilamana gereja bergerak ke dalam dunia dalam pelayanan kepada orang-orang miskin, hal itu tidaklah terhenti dalam pengertian makan dan minum dengan Yesus sebab Allah di dalam Yesus bukanlah hanya ada untuk gereja tapi orang-orang kecil sebagaimana tertulis dalam Matius 25:31-46.
Dengan menelusuri makna perjamuan dalam kaitan dengan kepedulian bersama, sharing kebutuhan sehari-hari, memberikan etika sosial bahwa orang-orang yang turut ambil bagian dalam perjamuan memiliki rasa solidaritas sesama, yang dinyatakan untuk saling berbagi makanan dan minuman. Dalam kaitan dengan anggota komunitas sekarang ini bahwa banyak anggota masih berada pada tahap pertanyaan “apa yang kumakan hari ini?” yang berarti sulitnya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sementara di pihak lain banyak anggota komunitas yang berada pada pertanyaan “yang mana yang harus kumakan hari ini? Di sini penekanannya adalah kesulitan untuk memilih karena sudah memiliki makanan yang berlebihan. Dalam hal inilah menurut penulis peranan perjamuan mendorong orang percaya untuk memiliki solidaritas bersama dalam kesenjangan di tengah-tengah komunitas. Sebagaimana dikatakan oleh Forrester bahwa perjamuan memiliki peranan yang sangat penting baik kepada komunitas secara umum maupun secara individu, sebab meja perjamuan Yesus adalah undangan yang terbuka sehingga baik Yahudi dan di luar Yahudi (gentile), kaya dan miskin, lemah dan kuat berkumpul bersama dan mengalami suatu tantangan baru akan kedalaman makna komunitas. Ketika orang miskin terpisah, maka Perjamuan itu bukanlah perjamuan untuk Tuhan (1 Korintus 11:17-20).

V.Kajian korektif atas implementasi Perjamuan dewasa ini.
Topik ini akan membahas bagaimana perjamuan dilaksanakan di gereja dimana penulis melayani selama ini dan bagaimana seharusnya implementasi perjamuan yang benar dan mengandung nilai-nilai etis yang berdasar pada alkitab. Dengan kata lain penulis hendak melakukan kajian korektif terhadap topik ini sejauh pengalaman penulis melakukan perjamuan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam bahasan ini, antara lain :
1. Dalam Konfessi tentang Sakramen Perjamuan Kudus disebutkan bahwa anggota jemaat dalam status penggembalaan (dikenakan siasat gereja) tidak diperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Dengan kata lain orang-orang yang berdosa seperti suami istri yang bercerai, yang berpoligami, berzinah, atau melakukan dosa lainnya tidak layak untuk ikut dalam perjamuan. Kemudian anggota jemaat yang belum sidi juga tidak boleh ikut dalam perjamuan. Dari kriteria ini, ada pengecualian siapa saja yang diperbolehkan untuk mengikuti perjamuan, dan menekankan pada kudusnya perjamuan Tuhan. Di atas telah ditunjukkan bahwa perjamuan itu diberikan untuk semua orang, tidak ada pengecualian. Dalam praktek Perjamuan Yesus, orang-orang berdosa, yang tersingkir, yang menjadi skandal bagi agama resmi, orang miskin, semuanya mendapat tempat di dalam perjamuan, bahkan Yudas Iskariot, yang kemudian mengkhianati Yesus tidak disingkirkan dari meja perjamuan Tuhan. Dan Perjamuan yang dilakukan Yesus adalah undangan yang terbuka kepada siapa saja, sebagai tantangan baru dalam kehidupan komunitas, dan mengarah kepada komitmen egalitarian.
2. Yang boleh melaksanakan (memimpin) ibadah perjamuan adalah pendeta, sementara jabatan-jabatan lain tidak diperbolehkan melaksanakan perjamuan ini. Gereja saat ini cenderung melaksanakan Perjamuan itu sebagai arah komando dari atas ke bawah. Peranan pendeta masih sama dengan warisan pola kepemimpinan yang diciptakan pada zaman Christendom, di mana perjamuan dilaksanakan di altar-altar gereja, dimana imam berdiri sebagai perantara Tuhan dan jemaat tinggal menunggu perintah saja. Pelaksanaan perjamuan semacam ini akan membuat pemisahan dan jarak yang jauh antara jemaat dan pendeta. Dan yang pasti bahwa Perjamuan saat ini tidak menyinggung sedikitpun tentang berbagi hidup dalam komunitas gereja. Penulis telah menunjukkan bahwa perjamuan itu menekankan keegalitarian, di mana semua orang berpartisipasi dalam kebersamaan, sehingga tercipta persaudaraan dan kehangatan. Seharusnya jemaat datang bersama dalam suatu tantangan baru untuk terbuka untuk saling berbagi tentang kehidupan sehari-hari baik pergumulan hidup maupun sukacita sebagaimana tertulis dalam Johannes 6:51 : Akulah Roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.
Yesus sangat menekankan di sini kerelaannya pertama kali untuk berbagi hidup di antara orang yang menerima Dia.
3. Perjamuan saat ini benar-benar menjadi skandalon bagi orang-orang tertentu; orang yang merasa dosanya berat, orang-orang yang sedang konflik karena belum bisa saling mengampuni, orang miskin yang merasa tidak layak karena komunitas yang sangat formal. Situasi ini menjadi terbalik dari praktek yang dilakukan Yesus ketika Dia duduk bersama dengan orang-orang berdosa menjadi batu sandungan bagi pemimpin agama resmi pada saat itu. Perjamuan sakramental semacam itu benar-benar menjadi skandalon bagi para tokoh agama Yahudi. Tetapi kini Ekaristi tampaknya menjadi skandalon bagi orang-orang berdosa di luar persekutuan Ekaristi, mereka yang tidak dapat menghampirinya, Ia telah menjadi skandalon kembali .
4. Liturgi/acara perjamuan saat ini menekankan pada pengampunan dosa dan membawa kepada situasi keheningan (Ulaon na hohom ), dimana anak-anak tidak diperbolehkan masuk karena dapat merusak suasana hening, pintu gereja harus ditutup rapat-rapat dan nyanyian selalu dipilih yang bernuansa sedih, yang dapat mengarahkan orang kepada keheningan. Padahal perjamuan yang dilakukan Yesus memiliki unsur dialog tentang kehidupan nyata, misalnya bagaimana mereka mendiskusikan rencana pengkhianatan Yudas Iskariot, bagaimana gereja mula-mula duduk bersama untuk berbagi makanan, dan bagaimana perjamuan itu sebenarnya mengekspresikan sukacita yang besar. Penekanan utama dari perjamuan itu adalah kebersamaan, bukan ibadah pemberian mandat untuk menghapus dosa.

VI. Penutup
Setelah melakukan usaha kajian ini, penulis merasakan bahwa perjamuan kudus yang dirayakan gereja saat ini telah mengalami suatu pergeseran nilai dan prakteknya dari apa yang dilakukan oleh Yesus dan gereja mula-mula. Pergeseran itu telah dibuktikan dalam kajian ini seperti : penekanan komunitas kepada privatisasi, kehangatan persaudaraan Tuhan kepada keheningan, penekanan egalitarian kepada pemisahan imam - kaum awam, orang berdosa - tidak berdosa, layak - tidak layak, dsb.
Untuk itu penulis melihat bahwa praktek perjamuan saat ini haruslah dibicarakan kembali di tengah-tengah komunitas gereja, di antara anggota jemaat maupun para pelayan gereja, sehingga mengandung makna perjamuan untuk pertumbuhan jemaat Tuhan secara benar atau sedikitnya tidak lagi mendengar kritik yang tajam seperti kritik yang dilakukan oleh C.S.Song yang mengatakan : “Meja perjamuan itu, yang dengan galak dan penuh dengan cemburu dijagai, padahal mungkin ternyata sama sekali bukanlah meja Tuhan, melainkan sekadar meja Gereja sendiri.“
Seharusnya perjamuan itu adalah suatu komunitas yang tumbuh bersama, berbagi bersama dan bertindak bersama, dimana Yesus hadir di dalamnya.

Tulisan ini di ambil dari http://forumteologi.com/

Jumat, 06 Agustus 2010

KEPEKAAN SOSIAL DI TENGAH PENGHARAPAN SEJATI

(Tafsiran dan Refleksi Teologis terhadap Matius 25:31-46)


1. Konteks
Matius mengalamatkan tulisannya kepada sidang pembaca perdananya yang berlatar belakang Yahudi. Dengan kata lain, sidang pembaca kitab ini pasca jemaat pembaca perdana termasuk pembaca modern saat ini hendaknya memahami setiap paparan kebenaran kitab ini dengan menimbang dan memperhatikan sifat Yahudinya baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sifat Yahudi Injil ini, yang menekankan penggenapan erjanjian Lama, dimaksudkan sebagai pembelaan Kristen terhadap orang-orang Yahudi yang tidak percaya… Namun Injil ini tidak memberi kesan seola-olah terutama ditulis untuk orang-orang luar tapi seolah-olah ditulis untuk dipakai oleh orang-orang Kristen untuk memperdalam pengertiannya tentang Kristus, supaya kemudian orang itu dapat menggunakannya dalam usaha pembelaan iman Kristen.
Lembaga Alkitab Indonesia membagi kitab ini atas 28 pasal. Pasal 24 dan 25 disebut sebagai khotbah akhir zaman. Dalam kedua pasal inilah, Matius menguraikan tentang perihal kedatangan Yesus untuk kedua kalinya sehubungan dengan tanda-tanda yang akan menandai kedatangan-Nya serta gambaran situasi pada saat kedatangan-Nya kelak. Dalam pasal 25, semua kebenaran yang berhubungan dengan kedatangan Yesus kali yang kedua dipaparkan dalam bentuk perumpamaan. Dimana pada ayat 1-13, pada intinya mengajak setiap pembaca agar selalu siap sedia dalam menanti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Analogi Yesus tentang gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh dimaksudkan-Nya untuk mempertegas keseriusan permintaan-Nya agar setiap pengikut-Nya selalu mawas diri dalam menyongsong kedatangan-Nya untuk kedua kalinya pada waktu yang tak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Yesus sendiri dalam sifat kemanusiaan-Nya (24:36). Sedangkan dalam ayat 14-30, dalam perumpamaan-Nya tentang talenta, Yesus hendak mengungkapkan apa yang mesti dilakukan oleh para pengikut-Nya pada masa penantian tersebut. Pada prinsipnya, Ia ingin mengatkan bahwa kepada setiap pengikut-Nya telah dikaruniakan talenta/potensi/kemampuan. Banyak sedikitnya adalah hal yang relatif tapi yang pasti adalah bahwa tidak semua pengikut-Nya diberi talenta itu, minimal satu. Talenta inilah yang sekaligus menjadi modal bagi setiap pengikut Kristus untuk berkarya nya di tengah dunia yang sementara ini sembari menanti ketangan Kristus untuk kedua kalinya pada waktu yang tentu itu. Jadi alurnya jelas. Yesus mau agar para pengikut-Nya menantikan kedatangan-Nya dalam keadaan pasif. Ia mengharapkan para penanti yang waspada penuh, siap sedia setiap saat tapi tetap aktif dalam memainkan peran sebagai saksi-Nya sesuai dengan talenta yang telah diberikan-Nya.
Nah, di dalam ayat 31-46 inilah, yang oleh LAI diberi judul penghakiman terahir, Yesus ingin memberikan sebentuk panduan praktis tentang bagaimana seharusnya para pengikut-Nya menggunakan talenta yang diberikan-Nya.
Dalam ayat 31, Yesus memakai istilah Anak Manusia yang menunjuk pada diri-Nya sendiri. Seperti yang telah disinggung sejak awal bahwa para penerima awal Injil ini adalah mereka yang berlatar belakang Yahudi maka istilah ini merupakan salah satu ciri/sifat Yahudi Injil ini khususnya perikop ini. Orang Yahudi merasa enggan untuk menyebut kata Allah kendatipun mereka telah menjadi Kristen. Atas alasan inilah, Matius merasa perlu untuk tidak memakai istilah Anak Allah melainkan Anak Manusia dalam tulisannya. Kecuali itu, menurut George Eldon Ladd, dalam tradisi Injil, sebutan Anak Manusia adalah cara yang paling disukai Yesus untuk menyebut diri-Nya sendiri. Sebutan itupun tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk menyebut Yesus. Injil menempatkan sebutan itu dalam ucapan Yesus lebih dari 65 kali. Para bapak gereja memahami bahwa ungkapan itu pertama-tama ditujukan kepada kemanusiaan Anak Allah yang telah menjelma. Dalam konteks ini pula Yesus ingin menonjolkan kemanusiaan-Nya tapi tak kehilangan kemulian-Nya karena dalam ayat ini pula kata kemuliaan-Nya muncul sebanyak dua kali.
Ayat 32 dqn 33 lebih merupakan sebuah gambaran tentang penghakiman terakhir. Penghakiman itu adalah penghakiman universal bagi semua bangsa (ay 32), walaupun pemisahan domba dan kambing kelihatannya penghakiman atas perorangan (bdk Yeh 34:17).
Ayat 34-41 merupakan konklusi yang disodorkan oleh Yesus bagi para pengikut-Nya dalam berbagai interaksi sosial di manapun mereka berada.

2. Pesan/Releksi Teologis

Para pengikut Kristus, setiap orang percaya baik secara organisme maupun sebagai organisasi dituntut agar dalam masa penantian kedatangan Kristus kedua kalinya, harus punya kepekaan sosial dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun bergereja. Setiap orang Kristen dituntut untuk keluar dari jerat eksklusivisme yang sempit karena Yesus adalah Raja atas semua bangsa (ay 32). Setiap orang percaya hendaknya menyadari bahwa kelak mereka akan berhadapan dengan tahta pengadilan Kristus (ay 34). Sekali lagi yang mau ditekankan di sini bukanlah siapa yamg termasuk domba atau kambingnya tapi yang terpenting adalah bahwa akan ada tahta pengadilan Yesus kelak pada saat kedatangan-Nya yang kedua. Untuk setiap perbuatan yang kecil dan sederhana untuk orang-orang kecil dan sederhana akan mendapat apresiasi atau sebaliknya pada saat kedatangan Kristus (ay 34-46). Denagn kata lain oapad pula dikatakan bahwa penulis Injil Matius ingin mengajak dan menggiring para pembacanya sebagai pengikut Kristus agar tetap setia menanti kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Di tengah masa penantian itu, mereka harus tetap memainkan peran sebagai saksi-saksi-Nya. Mereka harus punya kepekaan sosial yang memadai yang memungkinkan mereka untuk berbela rasa dengan orang-orang kecil atau sederhana (kaum marjinal/proletar).

3. Penerapan/Aplikasi Praktis
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bawha dalam kehidupan kita baik dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bergereja terdapat jurang kesenjangan sosial yang menganga lebar dan nyaris tak terjembatani. Jurang antara yang miskin dan yang kaya semakin lebar. Hal ini sekaligus menjadi batu uji bagi gereja dalam menghadirkan dirinya sebagai pengikutt Kristus.
Punulis Injil Matius ingin menggugah nurani kekristenan kita untuk peka dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan kebangsaan dan kegerejaan yang nyaris terkoyak oleh semangat primordialisme yang kaku dan mematikan. Dalam kemanusiaan-Nya tanpa kehilangan kemuliaan-Nya, Yesus ingin mengingatkan kepada kita bahwa akan ada penghakiman pada saat kedatangan-Nya kembali. Sekali lagi tugas kita bukanlah untuk mencari dan menentukan manakah yang termasuk dalam bilangan domba-domba atau sebaliknya kambing-kambing. Tugas kita bukanlah untuk memvonis sembari ‘mengetuk palu’ untuk menghakimi sebagai ‘hakim-hakim kecil’. Celakanya, gereja-gereja dalam konteks Indonesia mudah terbawa dalam pola ini. 324 oraganisasi gereja yang tercatat di Departemen Agama boleh dikatakan sebagai jumlah yang membesarkan dada tapi pada saat yang sama jumlah itu menjadi keprihatinan tersendiri karena sulitnya untuk bersatu disebabkan oleh klaim eksklusif dari masing-masing organisasi yang melihat dirinya sebagai yang paling benar (domba) dan yang lain sebagai yang salah/sesat (kambing). Bahkan ada anekdot: ‘orang kristen itu menyanyi harus lembut (seperti domba). Jadi kalau ada orang Kristen yang menyanyi dengan suara yang nyaring dan melengking maka itu adalah kambing’. Atau ada gereja yang ‘memonopoli’ Roh Kudus dan menganggap yang lain tak ada Roh Kudusnya.
Pada saat yang sama gereja menyadari bahwa bingkai kehidupan kebangsaan dalam konteks NKRI ternoda oleh berbagai krisis kemanusiaan yang memilukan. Angka kemiskinan yang makin tinggi seiring dengan PHK secara besar-besaran sebagai dampak langsung dari krisis keuangan global merupakan realita yang tak terbantahkan. Penggusuran di beberapa tempat menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang harus kehilangan tempat tinggal.
Sebagai orang Kristen, kita seharusnya punya kepekaan sosial, kepekaan nurani kristiani untuk berbela rasa dengan mereka yang terpinggirkan, mereka yang termarjinalkan. Kita tidak harus selalu membiarkan banyak perhatian/waktu kita tersita, banyak energi kita tersedot hanya untuk mengurusi perkara-perkara/’orang-orang besar’ baik bersifat internal maupun eksternal gereja.
Di tengah pengharapan dan penantian kita untuk kedatangan Yesus pada kedua kalinya, kita dituntut untuk peka melihat kehadiran Kristus yang kadang-kadang menjelma dalam diri sesama kita tertindas/terpinggirkan, yang bisa saja mereka bukan/belum menjadi Kristen. Pengharapan kita akan kedatangan Kristus adalah pengharapan sejati yang memungkinkan kita tetap menjadi Kristen sampai hari ini kendatipun kita tahu bahwa gereja dibakar di mana-mana, banyak orang Kristen yang terbunuh, bahkan kita sering dihina, diejek, dikucilkan dan sebagainya. Kita berharap dan menanti saat itu tiba namun dalam masa penantian ini kita tak boleh melalaikan tugas/tanggung jawab dan panggilan kita sebagai kaum tertebus. Kita mesti terus mengasah kepekaan sosial dan kepekaan nurani kristiani kita dalam berbagai interaksi sosial di manapun Tuhan menempatkan kita.
Kita diharapkan agar tak mudah terperangkap dalam jerat rutinisme religius yang dapat mengerdilkan bahkanmematikan kerohanian kita sekaligus munumpulkan ketajaman nurani kristiani kita. Biarlah di tengah rangkain aktivitas gerejawi yang kita lakukan, kita tetap punya kepekaan sosial untuk berbagi dengan setiap mereka yang membutuhkan uluran tangan kita secara khusus bagi kaum proletar yang terpinggirkan. Biarlah pula di tengah kondisi ketidakberpihakan negara pada kaum terpinggirkan itu, kita tetap menunjukkan keberpihakan kita, empati kita pada mereka. Bukankah hal itu yang dilakukan oleh Yesus semasa hidup dan pelayanan-Nya? Bukankah itu pula yang diharapkan oleh Yesus dari masing-masing kita melalui Iniil Matius 25:31-46 ini?

Sabtu, 31 Juli 2010

APA ITU ETIKA?

Pada pengertian yang paling dasar, etika adalah sistem nilai pribadi
yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau taetha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati.
Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan.
Seseorang dikatakan baik atau buruk bukanlah dilandaskan atas satu tindakannya saja, melainkan atas dasar pola tindakannya secara umum. Jika arti ethos adalah perilaku adat istiadat maka dapat ditafsirkan bahwa hal ini sudah dikenal jauh lebih lama lagi seus ia kitab-kitab kuno yang telah ada pada abad ke 25 SM yang menjadi dasar ajaran etika Khong Fu Cu. Jadi konsep-konsep etika sebenarnya sudah dikenal oleh manusia sejak jaman dahulu, jauh sebelum peradaban manusia maju seperti sekarang ini.
Etika juga diartikan pula sebagai filsafat moral yang berkaitan dengan studi tentang tindakan-tindakan baik ataupun buruk manusia di dalam mencapai kebahagiaannya. Apa yang dibicarakan di dalam etika adalah tindakan manusia, yaitu tentang kualitas baik (yang seyogyanya dilakukan) atau buruk (yang seyogyanya dihindari) atau nilai-nilai tindakan manusia untuk mencapai kebahagiaan serta tentang kearifannya dalam bertindak.
Tetapi sebenarnya moral dan etika adalah tidak sama. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral. Etika dipakai untuk yang lebih umum/ konseptual/ prinsipal. Dan moral dipakai untuk yang lebih khusus/ spesifik. Jadi etika adalah prinsip-prinsip moral. Contohnya etika berbicara tentang prinsip kesetiaan, berdasarkan prinsip itu, moral berbicara tentang perceraian. Ada moral yang membolehkan dan ada yang menentang perceraian, tetapi prinsipnya sama.

Etika dan Etiket

Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Persamaan antara etika dengan etiket yaitu:
Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai hanya mengenai manusia, tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Adapun perbedaannya adalah :
1. Etiket menyangkut cara melakukan suatu perbuatan. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Etika tidak terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan, justru etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Etika lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu dapat saja bertutur kata dengan lembut, berarti memegang etiket, namun itu dilakukan untuk menipu, berarti mempunyai etika tidak baik. Orang munafik biasanya selalu mempunyai etiket yang baik namun etikanya selalu tidak baik karena apa yang ada di dalam berbeda dengan apa yang dikeluarkan.

Etika dan Moral

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
Pluralisme moral diperlukan karena:
1) Pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan.
2) Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional.
3) Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.

Etika dan Moralitas

Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif.
Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian.
Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal.
Sistematis artinya membahas langkah demi langkah.
Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.

Etika dan Agama

Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin mengerti mengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.

Sabtu, 08 Mei 2010

KONSEP KEPEMIMPINAN KRISTEN

Pemimpin Yang Pragmatis

Akhir-akhir ini beragam berita memenuhi kehidupan keseharian manusia. Berbagai media massa memberikan informasi tentang hal-hal yang negatif dalam dunai berupa: terorisme global, ancaman resesi ekonomi dunia, konflik agama, politik dan sosial, maraknya free seks di kalangan remaja, kriminalitas yang semakin meningkat, ada juga isu-isu korupsi bahkan di tempat kerja kitapun mengalami hal yang sama. Fenomena ini membuat banyak orang termasuk para pemimpin bersikap pesimis dan apatis bahkan ikut kompromi
Alkitab menegaskan bahwa Allah memanggil umat-Nya untuk berkolaborasi dengan Dia, berkarya dalam menghadirkan realita nilai-nilai kerajaan Allah ( nilai-nilai Kristen yang universal ) dalam system nilai dunia yang amburadul, membenci dan melawan Allah.
Berdasarkan dasar teologi jelas diatas, maka seharusnya orang keisten atau pemiempin-pemimpin Kristen dapat memikirkan alternative baru yang disukung dengan kapasitas dan imajinasi pemimpin yang tinggi, dengan demikian kita dapat menyatakan idealisme Kristen di tengah pesimisme dan kekacauan dunia ini. Martin Luther King Jr, yang berani bermimpi dan menyatakan mimpinya itu kedalam dunia yang kacau dengan perjuangan untuk menyatakan bahwa, semua manusia (anak-anak) memiliki derajat yang sama dan penilaian terhadap manusia bukan dari kulit melainkan dari integritas karakternya.

Memimpin Umat Allah Dengan Creative Tension

Manusia senantiaa hidup dalam “ Tension “ yaitu hidup diantara kedatangan Kristus yang pertama dan kedua kali, antara Jumat Agung dan Minggu Paskah, antara Kerajaan Allah yang sudah datang dan yang akan datang. Dalam tension ini, manusia tidak terlepas dari berbagai persoalan dan tantangan, yang kadang membuat kita melupakan status kita sebagai anak-anak Allah.
Teologi Kristen mengajarkan bahwa ada permusuhan antara manusia dengan si jahat. Namun janji Allah dalam Kejadian 3:15 merupakan jaminan bagi umat Allah untuk terlepas dari semua ikatan iblis itu. Kehadiran Anak Allah menyatakan “Kehadiran Kerajaan Allah” yang didalamnya manusia yang berdosa diselamatkan dan kembali untuk diperintah oleh Allah dalam kedaulatan-nya.

Thought Leadership

Thought Leadership adalah pemikir strategis yang selalu terdepan dan lebih dulu dari orang lain dalam menelurkan ide-ide inovatif, terobosan efektif dan solusi transformative untuk problematika dunia. Pemimpin Kristen harus menjadi Thought Leaders karena Allah telah memberikan kepada para pemimpin Kristen dua kebenaran tansenden – Absolut dan Mandat Ratio.
Kebenaran yang transcendent dan Absolut adalah menyangkut Kristus dan Firman-Nya. Kebenaran ini sudah dianugrahkan kepada manusia yang tidak akan pernah dikalahkan oleh ideology dan Filsafat dunia ini. Kebenaran inilah yang seharusnya direnungkan, digumuli, dipelajari , ditelaah, dikupas dan diaplikasikan dalam semua area kehidupan manusia dan realitas dunia. Dengan demikian, rasio pemimpin Kristen yang sudah diterangi oleh kebenaran absolut itu seharusnya lebih lagi membangkitakan tought Leaders untuk menyetakan kebenaran Allah dalam dunia, diberbagai aspek agar nilai-nilai dunia itu dapat diarahkan kepada kebenaran yang absolut dan transenden itu. Ini merupakan panggilan (mandate) khusus bagi manusia agar menjadi Thought Leadership.

Pemimpin, Selebritis Dan Berhala : Pengkhultusan Individu Pemimpin

Sekretaris jenderal PBB Kofi Annan dalam pidatonya mengatakan, pelajaran terpenting dari abad ke-20 yang dapat ditarik oleh para pemimpin dunia adalah abahwa system sentrralisasi kekuasan telah gagal. Pernyataan ini hendak mengajarkan bahwa “Kepemimpina yang berpusat pada individu tertentu adalah tidak efisien dan tidak sehat, dampaknya dapat melumpuhkan kapabilitas yang ada diluar diri pemimpin.
Kehidupan jemaat Korintus yang sedang mengalami perpecahan merupakan akibat dari Pengkhultusan individu pemimpin atau personality cult. Jemaat tercerai kedalam golongan yang dilabeli nama figure idola mereka, yaitu: Paulus, Apolos, Kefas bahkan ada kelompok sendiri yang menyatakan diri sebagai kelompok Kristus.
Sikap pengkhultusan individu pemimpin ini membawa jemaat di Korintus atau kita saat ini dapat beralih dari perhatian kepada Kristus, sehingga Kristus dapat digeser dari tempat-Nya, dengan demikian pemimpin menjadi pusat penyembahan kita, dapat disebut penyembahan berhala.


Ketaatan Terhadap Otortis Pemimpin

Otoritas merupakan ciri khas seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya. Namun otoritas itu dapat disalah gunakan. Masyarakat bisa salah persepsi tentang otoritas tersebut. Dengan otoritas seorang pemimpin bisa menutupi atau memalsukan data akutansi, sehingga kesadaran dan keberanian untuk mengungkap kebusukan tersebut tidak terjadi. Selanjutnya dengan otoritas itu pula, para pemimpin dapat membunuh semua orang yang menjadi musuh mereka. Contohnya : Hitler dan Jim Jones.
Meskipun manusia memiliki kapasitas untuk membuat pilihan moral dan bertanggungjawab secara moral, namun kapasitas ini sering tidak berdaya ketika berhadapan dengan otoritas seorang pemimpin. Selain itu ada banyak orang yang memilih berdiam diri dari pada menyatakan tanggungjawab moralnya, bahkan berdiam diri dalam ketaatan kepada otoritas tersebut.
Memang benar kitaperlu dan harus tunduk pada otoritas pemimpin (Rm 13), namun ketundukan dan ketaatan itu jangan membabi buta. Pada saat kita menerima mentah-mentah apa yang dikatakan pemimpin, maka kita telah jatuh dalam ketaatan buta, ini adalah hal yang berbahaya.

Memimpin Tanpa Mengontrol Orang Lain

Manusia memiliki natur untuk “Selalu Mengontrol” segala sesuatu. Natur ini selalu diekspresikan dengan mengatur waktu, keuangan, dan rencana-rencana kedepan. Namun bahaya dari natur ini adalah manusia menginginkan waktu, harta, dan masa depan berjalan dengan keinginannya, bahkan keinginan untuk mengontrol dan menguasai orang lain. Apa lagi proses kondisi sosial (Nature) melegitimasinya, mak ia akan memimpin dengan cara intimidasi bahkan mengarah pada tirani. Pemimpi yang dicintai oleh banyak orang cenderung mempunyai ilusi control yang kuat. Semakin ia disanjung dan dipuji orang, semakin ia ingin mendominasi dan menguasai banyak orang.
Jalan keluar bagi pemimpin yang ilusi control ini adalah menyadari natur keberdosaan dirinya akibat kejatuhan dalam dosa dan kembali kepada Yesus dan melaksanakan model kepemimpinan Pelayan (Servan Leadership) yang siap melayani sesamanya dengan kuasa (Power) yang otentik terletak pada penyerahan diri (Submission) dan penyangkalan diri.
Pemimpin yang menyangkal diri adalah pemimpin yang menyerahkan hak-haknya (Hak untuk dihargai, didengar, membuat keputusan akhir, hak untuk marah…) kepada Allah demi pelayanan kepada orang lain. Dengan demikian mereka bukanlah seperti Saul yang ilusi control dengan melakukan hal-hal yang melawan perintah Allah, melainkan seperti Yesus dalam kepemimpinan-Nya. Seumur hidup penuh dengan pelayanan dan pendertiaan. Salib merupakan bukti penyerahan diri-Nya sepada Allah. hendaklah pemimpin-pemimpin Kristen menyadari bahwa yang memegang control akhir adalah Allah bukan manusia. Dengan demikian mereka tidak terjatuhpada ilusi control.

Anarki Dan Tirani : Penyimpangan Otoritas Pemimpin

Nelson’s Bible Dictionary, mendefinisikan otoritas sebagi :”Hak seseorang untuk melakukan hal-hal tertentu karena posisi atau kedudukan yang ia miliki, otoritas itu diberikan kepada posisi, bukan kepada individual dan penggunaan otoritas aadalah hak individu yang menduduki posisi tertentu.
Alkitab menjelaskan bahwa ada dua macam natur otoritas yaitu otiritas intrinsic dan otoritas turunan. Otoritas intrinsik adalah otoritas yang secara inheren dimiliki karena natur dari pemiliknya. Hanya Allah yang memiliki otoritas ini. Otoritas ini adalah bagian dari atribut Allah, oleh karena itu bersifat kekal dan absolute.
Otoritas turunan adalah otoritas yang didelegasikan, artinya segala bentuk otoritas yang manusia miliki berasal dan diturunkan dari Allah. oleh karena itu seluruh otoritas turunan tersebut harus tunduk kepada otoritas Allah (Yoh 19:11).
Jika manusia menolak otoritas turunan yang dimiliki oleh pemerintah, orang tua, pendeta, dan penatua maka yang terjadi adalah anarki. Sedangkan tirani berarti penolakan pemerintah, orang tua, majikan, pendeta, dan penatua terhadap otoritas Allah yang dijelaskan oleh Alkitab. Tirani juga berarti menempatkan diri dalam posisi Allah dan berlagak seperti Allah.
Alkitab mengajarkan bahwa tujuan Allah memberi otoritas kepada pemimpin, adalah untuk melayani orang lain (Luk 22:26). Dalam melayani orang lain hendaklah para pemimpin meneladani cara kepemimpinan Yesus, sehingga kita dapat menjadi teladan yang baik.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa ketaatan kepada otoritas turunan itu penting tetapi tidak mutlak. Alkitab menyatakan bahwa kita perlu menghargai dan mentaati pemimpin bila mereka berfungsi dalam domain yang sudah digariskan Allah (I Kor 16:15-18; 1 Tes 5:12-13; Tit 2:15; Ibr 13:7-17). Tetapi jika mereka tidak berfungsi dalam domain yang telah ditetapkan oleh Allah maka seharusnya tidak ditaati. Contoh : Dua bidan di tanah Mesir.

Berpacu Melawan Kuda : Sebuah Tantangan kepemimpinan

Menjadi pemimpin Kristen ada sisi yang sangat menjanjikan dan menjadi rebutan orang, tetapi ada juga sisi yang tidak enak, sisi yang membuat kesepian; mengalami penolakan; kekecewaan dan lain-lain. nabi Yeremia merupakan nabi yang dipanggil untuk menjalani kepemimpinan yang sulit. Berikut ini ada tiga pelajaran kepemimpinan dari Yeremia bagi kita yaitu:
1.Pisau Bermata Dua
Tugas pemimipin Kristen bagai pisau bermata dua. Ia harus menghibur orang yang susah dan menyusahkan orang yang terhibur. Obat yang paling mujarab untuk mengatasi penderitaan kita adalah menolong orang yang sedang menderita, karena kita akan kuat secara spiritual, mental dan emosional. Allah tetap sanggup untuk menciptakan pemimpin-pemimpin seperti Yeremia untuk menegur dan menyatakan kesalahan dalam zaman sekarang ini.
2.Berani Menderita Demi Kebenaran.
Kadang-kadang seorang pemimpin harus terlibat dalam konflik, sebagai konsekuensi logis dari tugas yang dipikulnya dan prinsip yang dipegangnya. Yeremia dalam kepemimpinannya banyak menghadapi tantangan dari banyak orang bahkan dari sahabat karibnya sendiri. Namun ia tetap berdiri tegak untuk menyatakan kebenaran Allah.
3.Beban kasih Yang Dalam.
Yeremia bisa saja memilih untuk tidak peduli dengan semua persoalan bangsa Israel. Namun perlu diketahui bahwa reputasi Yeremia sebagai “The Weeping Prophet” muncul karena beban kasih yang dalam ke[pada bangsa Israel. Ia sangat mencintai Allah dan orang-orang yang ia layani, bahkan orang-orang yang membencinya. Penderitaan tidak dapat menghancurkan semangat Yeremia surut, tetapi ia tetap optimis bahwa akan ada perubahan dan anugrah Allah akan selalu baru setiap hari.

Kritik Bagi Pemmpin : Sahabat Atau Musuh

Seorang pemimpin selalu dikelilingi oleh dua tipe manusia yaitu orang yang selalu taat secara mutlak kepada pemimpin tanpa berpikir dan bertanya ( Uncritical Lovers ), tipe yang kedua adalah orang yang selalu melancarkan kritik-kritik yang pedas dan tajam dengan tujuan untuk mendiskreditkan si pemimpin.
Kritik bagi pemimpin adalah sesuatu yang sangat perlubagi setiap pemimpin. Mengapa demikian? Karena pemimpin adalah pribadi yang Fallible, masa bisa salah dan perlu untuk di tegur. Namun teguran bagi pemimpin adalah teguran yang positif – konstruktif. Teguran seperti ini akan membawa mamfaat yang besar bagi pemimpin. Adapun yang menjadi mamfaat teguran/kritikan bagi pemimpin adalah :
1. Kritik mencegah sesuatu yang destruktif terjadi pada diri si pemimpin.
2. Kritiki menolong pemimpin untuk menyadari “blind sports” dalam dirinya.
3. kritik membuat pemimpin tetap tajam dalam kesaksian hidup dan efektivitas pekerjaan pelayan.
Kritik itu memang konfrontasional, ia menyatakan kesalahan dan menolong untuk melihat konsekuensinya. Contoh dalam Alkitab yang menyatkannya ( 1 Sam 13:13), dan Tuhan Yesus menghadiran Petrus yang sok pahlawan ( Mat 16:23 ). Memang tidak semua kritik itu membangun (bermamfaat), namun kritik yang disampaikan dengan kasih akan membangun sang pemimpin, tingal bagaimana sikap hati para pemimpin untuk menerima kritikan itu.

Seni Menegur Pemimpin

Dalam menjelaskan tentang seni menegur pemimpin, ada beberapa alasan yang sering dipakai untuk mereduksi keinginan, memberi nasihat dan masukan bagi pemimpin yaitu : Pertama, pembuktian terlebih dulu, artinya setiap orang yang hendak menegur pemimpin dituntut untuk melakukan apa yang sudah dilakukan pemimpin, setelah itu baru nasehat bisa diberikan. Kedua: jangan menegur orang yang diurapi oleh Tuhan (Maz105:15). Dampak dari teguran kepada orang yang diurapi adalah ditimpanya penyakit dan mengalami kecelakaan. Ketiga : adalah perintah Tuhan Yesus “ jangan kamu menghakimi…” (Mat 7:1), oleh karena itu pemimpin tidak boleh ditegur.
Seorang pemimpin tidak membutuhkan Unloving Critics. Bahkan sebaliknya pemimpin juga tidak membutuhkan Uncritical Lovers. Yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin adalah Critical Lovers. Dalam prinsip ini, saling menegur adalah bagian dari kunci membentuk komunitas umat Allah yang sehat dan bertambah.

Jumat, 16 April 2010

KARAKTER KEPEMIMPINAN KRISTEN

Visioner
Karakteristik pemimpin paling penting yang membedakannya dengan non pemimpin adalah kejelasan tujuan yaitu menetapkan sebuah visi untuk organisasi tersebut dan mengkomunikasikannya dalam cara yang mendesak pada para pengikut”. Dengan demikian visi adalah prasyarat utama seorang pemimpin disebut pemimpin.
Alkitab memberikan gambaran universal bagi setiap manusia bahwa :”Orang yang tidak memiliki arah yang jelas dalam hidupnya masuk dalam kategori orang liar (Ams 29:18). Orang liar artinya orang yang hidup tanpa visi. Gambaran orang yang hidup tanpa visi gampang sekali diombang ambingkan oleh rutinitas kehidupan. Mereka memandang waktu ini sebagai sesuatu yang berjalan secara siklus yang tidak ada masa depan dan membosankan. Oleh karena itu perlu sekali untuk menetapkan visi pribadi kita sebagai respons terhadap anugerah keselamatan yang Tuhan berikan yang sekaligus mengarahkan kaki kita untuk melakukan pekerjaan baik dari Allah (Efesus 2:10).
Jika kita melihat defenisi tentang visi, maka yang menarik adalah perpaduan yang harmonis dari ketiga element yang interdependen dan tidak bisa dipisahkan yaitu:
1. Allah : Kehendak dan beban dari Allah. intervensi Allah dalam visi manusia membuat visi itu eksklusif dan ini bukan berarti kita lebih superior dan menutup diri terhadap orang lain. Tetapi visi tersebut melibatkan Allah yang memanggil, maka seharusnya kita memanifestasikan panggilan Allah itu dalam setiap profesi kita.
2. Diri kita. Talenta dan kapasitas yang Allah berikan.
3. Lingkungan: kebutuhan Zaman yang Allah tunjukkan. Dengan demikian hidup ini pun menjadi bermakna dan manusiapun dapat berjuang dalam hidup ini untuk mencapai visinya.

Dalam menjalankan kehidupan, setiap manusia harus memiliki ide tunggal. Demikian pula dengan seorang pemimpin, ia bisa menjadi orang yang berbahaya karena memiliki ide tunggal yang akan berakibat pada pengaruh yang negatif dan positif. Sudah ada banyak contoh dari pengaruh kepemilikan satu ide ini yaitu contoh negatif adalah Osama Bin Laden, ia berjuang melawan manusia yang adalah musuh Allah yang berakibat pada munculnya terorisme dan banyak korban jiwa yang tidak bersalah. Contoh yang positif adalah Martin Luther King Jr, Bob Pierce, Mahatma Gandhi, Ibu Teresa, dan lain-lain. yang lebih agung dan mulia adalah Tuhan Yessus Kritus. Yang jelas menjadi orang yang berbahaya itu ada resikonya tetapi semuanya itu harus di jalani, agar kita dapat mempengaruhi orang dengan pandangan yang positif.

Pengorbanan
Seorang pemimpin seharunya melahirkan pengorbanan, hidup yang agung, konkrit dan berani, sebagaimana tokoh Nehemia yang berani mengorbankan segala sesuatu demi panggilan Allah. Nehemia dalam menjalankan panggilan Allah, ia harus melewati empat proses kepemimpinan yaitu:
1. Menerima Panggilan Allah. Nehemia berprofesi sebagai juru minuman Raja Persia dan pekerjaannya adalah mencicipi minuman raja sebelum disuguhkan. Melalui posisi dan pekerjaan yang sangat penting ini, Allah memanggil Nehemia dan menanamkan tugas dalam hatinya untuk membangun kembali citra diri umat Allah yang merefleksikan kedaulatan dan kebesaran Allah sendiri. Menjadi pemimpin yang meresponi panggilan Allah harus berani untuk meninggalkan posisi aman atau area-area teraman kita yaitu karier, kedudukan dan lain-lain, dan memfokuskan diri pada tugas dan panggilan Allah. Nehemia merupakan contoh yang terbaik, ia rela meninggalkan semua area teraman yang dimiliki untuk menjalankan tugas besar dari Allah. Oleh karena itu kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang dimulai dan hanya dimulai dengan panggilan dari Allah.
2. Menggumuli Panggilan Allah : Air Mata Pemimpin. Nehemia dalam menggumuli panggilan Allah dapat diekspresikannya lewat doa dan tangisan. Hal ini menunjukkan keseriusannya dalam menjalankan tugas besar ini. Nehemia merupakan pemimpin yang empati artinya ia menempatkan dirinya pada posisi bangsa Israel dan turut merasakan penderitaan mereka. Doa dan air mata selalu menunjukkan level keseriusan komitment pemimpin. Dengan demikian visi Nehemia hari demi hari dapat di pertajam.
3. Mengkonkritkan pangilan Allah: Idealis, namun Realistis. Nehemia bukanlah tipe orang yang hanya berdoa saja, tetapi ia mengaktualisasikan doanya dengan membangun rencana yang strategis. Mengapa demikian? Karena perencanaan memiliki tempat yang penting dalam hidup manusia. Nehemia memiliki strategi yang khusus dalam mewujudkan perencaannya dan pada akhirnya raja mengabulkan semua rencananya itu dengan mengutus dan memberi izin. Oleh karena itu Nehemia menjadi pemimpin besar karena visi yang Tuhan berikan dicapainya dengan membangun perencanaan yang strategis.
4. Menjalani Panggilan Allah. Dalam menjalani panggilan Allah, Nehemia selalu menghadapi berbagai halangan dan tantangan. Memang benar dalam menjalani panggilan Allah itu bukan hal yang mudah dan sepele. Penggilan Allah selalu menuntut pengorbanan dan ada harga yang harus dibayar. Jika Nehemia berhasil dalam kepemimpinannya maka kitapun dipanggil untuk berhasil asalkan kita selalu mengikuti empat proses ini yaitu menerima Panggilan Allah, Manggumuli Panggilan, Mengkonkritkan panggilan itu serta menjalani panggilan itu dengan tekun.

Kualifikasi Eksklusif
Pemimpin dalam level dan agama apapun harus memiliki yang namanya Visi, Integritas, Stamina, Wawasan dan lain-lain. jika dilihat dari cirri-ciri ini, apakah yang dapat membuat pemimpin Kristen itu istimewa? Alkitab memberikan kualifikasi yang sangat akurat dalam I Timotius 3 dan Titus 1. namun itu belum menjadi jaminan cirri eksklusif pemimpin Kristen. Jika demikian apa yang menjadi keunikan, keistimewaan pemimpin Kristen? Kepemimpina Kristen bukan soal kedudukan, kuasa dan control melainkan kelemahan. Pemimpin Kristen yang merasa diri pandai, kuat, superior, tidak akan dapat dipakai oleh Allah sebagai alat untuk menyatakan kuasa Allah, bahkan dapat menjadi penghambat kita menerima kasih karunia Allah.
Jalan pemimpin Kristen adalah downward mobility yang berakhir pada salib (belajar dari kepemimpina Yesus yang berakhir pada salib). Kepemimpinan yang rela dipimpin oleh Allah ketempat yang kita tidak ingin tuju, yang penuh air mata dan penderitaan.
Kepemimpinan sangat membutuhkan penyerahan diri total kepada Allah untuk dapat memahami dan mencapai kehendak-Nya. Mengapa kita harus menyerahkan diri total kepada Allah? Karena semua kapasitas yang kita miliki sebagai pemimpin berasal dari Allah, titipan Allah yang akan di pertanggungjwabkan kepada Allah. D. L. Moody dalam doanya pernah berkata: “ Dunia akan melihat apa yang mampu Allah lakukan tatkala seseorang berserah secara total kepada Allah. Dengan anugrah-Nya, saya ingin menjadi orang tersebut.

Integritas
Integritas adalah “Wholeness, Completeness, Unified”. Bebera kamus mendefinisikan integritas sebagai “The Condition Of Having no Part Taken away” atau “The Character Of Uncorrupted”. Jauh sebelumnya Yakobus pernah berkata; “Orang yang berintegritas adalah orang yang “Mature and complete, not Lacking Anything” (Yak 1:4). Jadi integritas berbicara keutuhan dalam seluruh aspek hidup, antara perkataan dan perbuatan harus seimbang.
Integritas berbeda dengan etika dan moralitas. Etika adalah standar tentang apa yang benar, salah dan jahat. Etika ada pada level teoritika. Sedangkan moralitas adalah tindakan aktual tentang mana yang benar, salah dan jahat. Moralitas ada pada level praktika. Sedangkan integritas sendiri adalah integrasi etika dan moralitas. Semakin keduanya terintegrasi semakin tinggi level integritas yang ada.
Integritas merupakan modal utama seorang pemimpin. Integritas juga merupakan fondasi untuk membangun rasa percaya. Integritas seorang pemimpin Kristen akan nampak keasliannya pada saat apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan dalam kesendirian, yang menurut kita tidak diketahui oleh orang lain. Yusuf menjadi contoh yang akurat dalam “Integrity in Action”, tindakan dan jawaban Yusuf kepada istri Potifar menunjukkan level integritasnya. Yusuf merupakan pribadi yang sungguh-sungguh mengasihi Allah, sehingga ia tidak mau berdosa kepada Allah dan melakukan kejahatan kepada manusia (Istri Potifar).
Kehidupan pemimpin seharusnya adalah kehidupan yang transparan. Tidak ada sesuatupun yang disembunyikan atau ditakuti. Sebagaimana kehidupan Daniel dan Samuel. Semakin luas pengaruh seseorang semakin besar pula transparansi dan akuntabilitas yang harus ia tunjukkan. Dengan demkian, pemimpin Kristen adalah orang-orang yang sangat mengasihi dan menghargai Allah, diri sendiri dan orang lain.

Arogansi
Kesombongan merupakan penyakit arogansi. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja tanpa memandang statusnya. Biasanya penyakit ini paling banyak diderita oleh para pemimpin. Ada tiga penyebab utama kesombongan pemimpin yaitu Kuasa, Persepsi umum dan Perlakuan khusus dan Keberhasilan. Contoh konkrit adalah raja Usia (2 Taw 26). Pada awal kepemimpinannya, ia memimpin dengan baik ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan dan Allah selalu menyertainya. Namun ketika namanya menjadi terkenal, ia mulai merasa dirinya hebat dan tidak lagi tunduk kepada Allah.
Kesombongan itu adalah dosa yang sangat serius dan sentral. Natur dosa ini muncul pada saat seseorang merasa dirinya lebih dari orang lain. Karena pada saat seseorang merasa dirinya sama dengan orang lain maka tidak ada yang perlu disombongkan. Tetapi jika seseorang merasa diri lebih dari segala hal dari orang lain maka itu awal dari kesombongan. Natur ini sulit untuk dideteksi karena munculnya begitu cepat dan terjadi dalam diri manusia.
Memang benar pemimpin Kristen itu superior Karena ia mendapat panggilan khusus dari Allah. Namun superioritas itu harus ditempatkan pada konteks yang benar yaitu pada fungsinya untuk menangkap visi, memotivasi, menangani konflik, dan bukan pada status karena dalam status kita adalah orang yang berdosa dan hidup dalam tubuh yang fana (terbatas), bisa salah dan jatuh dalam berbagai pencobaan. Tetapi karena panggilan dan pemberian kemampuan dari Allah. Dengan kata lain anugrah Allah itulah yang melayakkan kita untuk jadi pemimpin. Oleh karena itu pemimpin seharusnya berada dalam anugrah tersebut, dengan demikian ia dapat merendahkan diri dihadapan Allah.

Kerendahan Hati
Kerendahan hati merupakan hal yang langka dalam diri pemimpin-pemimpin dewasa ini. Bahkan lebih parah lagi, dunia pun tidak memberikan apresiasi sedikitpun tentang kerendahan hati. Rendah hati diidentikkan dengan kelemahan dan kerugian. Oleh karena itu dunia menuntut kuasa, kekuatan, otoritatif bahkan operasi dengan prinsip sekuler.
Kahadiran Yesus menampilkan prinsip biblikal yang berbeda dengan prinsip sekuler. Pemimpin menurut Yesus diidentikkan dengan anak kecil, artinya yang tidak berdaya, dan sangat tergantung pada orang lain. Kehadiran Yesus hendak Memperkenalkan dan menghadirkan prinsip kepemimpinan yang lebih utama, seturut teladan kehidupan Allah tritunggal yaitu kerendahan hati yang didasari oleh Allah Bapa, dicontohkan oleh Anak Allah dan dimungkinkan oleh Roh Kudus.
Kerendahan hati ala Yesus (Biblikal) ini diadopsi oleh orang-orang dunia dalam kepemimpinannya sperti Jim Collins dan memberi arti bahwa seorang pemimpin seharusnya rendah hati dalam hal tidak sombong, cenderung pemalu, menunaikan tugas dengan diam-diam tanpa cari perhatian dan pujian dari orang lain, berani menerima kegagalan tanpa mempersalahkan orang lain, bekerja untuk kepentingan perusahaan bukan diri pribadi. Hal inipun pernah disuarakan oleh Lao Tzu bahwa : “Syarat menjadi seorang pemimpin adalah kerendahan hati.”

Gaya kepemipinan seperti apa yang anda mau kembangkan? Beberapa hal diatas sekiranya dapat menjadi acuan. Amin.

Jumat, 26 Maret 2010

KRISIS DAN IRONI KEPEMIMPINAN

Krisis Kepemimpinan Global

Kepemimpinan tidak identik dengan posisi. Kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi otoritas. Kendati posisi otorits yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tetapi sekedar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Melainkan kepemimpinan adalah sebuah fungsi. Atau dapat dikatakan, kepamimpinan adalah suatu proses mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang untuk mencapai satu tujuan dalam kehidupan pribadi atau profesional mereka, anda sedang menjalankan peran/fungsi sebagai pemimpin.
Walaupun secara formal ada banyak pemimpin yang kita miliki yaitu mereka yang menduduki posisi kepemimpinan dalam pemerintahan, bisnis, universitas dan gereja. Namun realita yang nampak sangat mengecewakan. Antara lain. pejabat pemerintah diberbagai tingkat haus kuasa dan terus ingin berkuasa sedangkan orientasi melayani masyarakat semakin sirna. Mengenai kenyataan pemerintah yang haus kuasa dan lalai melayani masyarakat, ”Krisis ini berpangkal dalam krisis etika. Etika mengajarkan apa yang seharusnya; apa yang sebaliknya. Misalnya pemimpin mengatakan mereka adalah abdi negara, abdi masyarakat, namun yang muncul adalah haus kuasa dari pada pengabdian. Banyak pemimpin menindas bawahan daripada mengayominya. Banyak pemimpin memeras rakyat ketibang melayaninya.” Dalam dunia bisnis ada banyak skandal korporat yang terkait dengan para pemimpin, ada banyak tindakan tidak etis yang terjadi dengan para pegawai dan pelanggan.
Yang paling tragis lagi adalah gereja, kelompok yang sering dianggap – setengah ilahi - setengah manusia, juga mengalami yang namanya krisis kepemimpinan. Gereja telah kehilangan pengaruhnya karena absennya kepemimpinan yang efektif. Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami krisis kepemimpinan global. Adapun penyebab krisis kepamimpinan ini adalah karena pemimpin yang tidak kapabel secara moral dan teknis, pemimpin tidak diperlengkapi dengan kompetensi kepemimpinan yang mapan, pemimpin cacat dalam karakter dan integritas pribadi, adanya vaksin anti kepemimpinan yang berakibat pada tidak adanya usaha untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang baru, serta masalah ignorance = ketidakpedulian terhadap situasi bahwa kita tidak ada pemimpin.

Memimpin Di Tengah Dua Pilihan Adopsi Atau Aborsi

Ada dua fenomena tragis yang mestinya mendpat perhatian khusus dari setiap pemerhati dan praktis kepemimpinan Kristen yaitu dunia bisnis yang dipersepsi sebagi sekular dan kotor, berusaha mengadopsi prinsip dan pola kepemimpinan biblikal. Sedangkan gereja (Umat Allah, tubuh Kristus, baik sebagai institusi maupun yang berkarya diberbagai bidang), malah bertindak mengaborsi prinsip dan pola kepemimpinan yang biblikal. Adapun area-area yang mengalami proses adopsi dan aborsi adalah :

VISI :

Visi adalah konsep biblikal. Visi merupakan suatu gambaran tentang masa depan. Visi adalah suatu gambaran yang jelas dalam jiwa kita mengenai masa depan yang dikehendaki, yang ditanamkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya dan didasarkan pada pemahaman yang akurat tentang Allah, diri sendiri dan situasi yang ada. Oleh karena visi diberikan oleh Allah maka Alkitab merupakan dasar dan sekaligus dokumen tertua yang memuat dan mengajarkan tentang visi secara eksplisit. Alkitab mengatakan ,”Jika tidak ada wahyu (Visi), menjadi liarlah rakyat.” (Ams 29 :18). Yesus dalam pelayanan-Nya pun selalu mempunyai visi yang jelas. Alkitab menjelaskan bahwa sebelum Yesus terangkat ke sorga, Yesus kembali menegaskan Visi-Nya kepada para murid (Mat 28:19-20).
Namun dalam perjalanan perkembangan gereja yang merupakan komunitas umat Allah dan sekaligus menyatakan bahwa Alkitab sebagai dasar ajaran gereja, tetapi kenyataannya gereja sendiri yang tidak mempraktekkan apa yang diungkapkan oleh Alkitab. Gereja mengaborsi konsep Alkitab tentang visi yang adalah gambaran masa depan gereja. Hal ini mengakibatkan roda perjalanan gereja pun menjadi terhambat bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga sekuler.

AKUNTABILITAS:

Seluruh konsep kepamimpinan Kristen bertumpu pada satu azas yaitu hanya ada satu pemimpin yang sejati yaitu Tuhan Allah sendiri. Pemimpin yang lain adalah pemimpin-pemimpin dalam huruf kecil, yang bersifat relatif dan sekaligus subordinatif terhadap pemimpin yang sejati yaitu Tuhan Allah. Dengan demikian akuntabilitas merupakan suatu keharusan bagi setiap pemimpin. Apalagi seorang pemimpin Kristen.
Akuntabilitas menjaga pemimpin agar tetap memiliki pengaruh yang tajam (Ams 27:17). Jadi Semakin besar kepercayaan dan tanggungjawab yang diberikan kepada seorang pemimpin, semakin besar akuntabilitas yang ia miliki dihadapan Allah dan umat-Nya (Luk 12:48). Tanggungjawab terakhir para pelaku ekonomi dan bisnis, bahkan para pemimpin-pemimpin Kristen bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Bertanggung jawab kepada Allah berarti: bertanggungjawab atas kesejahteraan penuh setiap dan seluruh ciptaan-Nya (termasuk disini para pekerja, para pelanggan, para jemaat, bahkan seluruh masyarakat dan lingkungan hidup).
Akuntabilitas adalah hal yang sangat krusial dan telah lama lenyap dari dalam diri pemimpin Kristen. Baik di dalam gereja maupun diluar gereja, orang tidak lagi mengutamakan akuntabilitas. Bahkan akuntabilitas itu sendiri di aborsi oleh umat Kristen sendiri, sehingga moral hidup pemimpin Kristen tidak lagi mencerminkan kemuliaan kristus melainkan kehidupan duniawi yang semakin bobrok di hadapan Allah.

PEMBERDAYAAN :

Pemberdayaan dalam istilah menajemen disebut “Empowerment”, jelas-jelas merupakan konsep biblikal. Dalam Efesus 4:12, dijelaskan bahwa Allah memberikan berbagai karunia kepada orang percaya dengan tujuan untuk memberdayakan tubuh Kristus. Rasul Paulus dalam pelayanannya sangat memperhatikan ide pemberdayaan yaitu untuk membawa manusia (jemaat) semakin sempurna dalam Kristus (Kol 1:28). Jemaat seharusnya dibina, diperlengkapi, diberi kepercayaan, kesempatan, akses dan fasilitas untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Atau dengan lain kata agar jemaat bisa menjadi pemimpin-pemimpin yang baru. Jauh sebelum manajer modern, Yesus sibuk mempersiapkan orang-orang bagi masa depan. Dia tidak bermaksud untuk memilih seorang pangeran bermahkota, tetapi untuk menciptakan suatu generasi terus menerus. Ketika tiba waktu-Nya untuk meninggalkan para murid-Nya, Dia tidak melakukan program dadakan tentang pengembangan kepemimpinan – kurikulum telah diajarkan selama tiga tahun dalam ruang kelas kehidupan.
Namun sayang, pemberdayaan yang merupakan pola kepemimpinan biblikal juga diaborsi oleh pemimpin-pemimpin Kristen. Pemimpin merasa dirinya yang mendapat panggilan Tuhan untuk menjadi pemimpin, sehingga kepentingan dan panggilannya untuk memberdayakan atau menciptakan pemimpin baru tidak dipedulikan mereka.

KEPEMMPINAN YANG MELAYANI (SERVANT LEADERSHIP)

Yesus mengajarkan Servant Leadership dengan sangat jelas: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Markus 10:45. Selanjutnya Yesus berkata dalam Mat 20: 25-28,…tidaklah demikian diantara kamu, barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa ingin menjadi terkemukan diantara kamu, handaklah ia menjadi hambamu…Artinya kepemimpinan Yesus adalah kepamimpinan yang melayani. Dan Yesus menginginkan setiap pengikut-Nya juga melayani. Esensi pemimpin Kristen tidak terletak pada jabatan, pangkat, gelar melainkan pada tindakan melayani. Bagi para pengikut Yesus kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukan pilihan. Itu adalah mandat bukan perintah. Kepemimpinan yang melayani harus menjadi statemen hidup dari mereka yang tinggal dalam Kristus, cara kita memperlakukan satu sama lain, dan cara kita memperlihatkan cinta Kristus kepada seluruh dunia.”
Namun filosofi kepemimpinan yang biblikal ini diaborsi oleh para pemimpin Kristen. Pemimpin Kristen mencampakan prinsip kepemimpinan yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan dan modelkan. Sedangkan diluar sana, dunia bisnis, dunia sekular mulai perlahan-lahan menerapkan (mengadopsi) prinsip kepemimpinan yang melayani dalam lingkungan mereka.

http://renungan-harian-kita.blogspot.com/2008/03/telur-paskah.html

http://renungan-harian-kita.blogspot.com/2008/03/telur-paskah.html

Jumat, 05 Maret 2010

CERDIK ATAU LICIK

Kejadian 30:25-43

Dunia ini penuh dengan persaingan (kompetisi) baik dalam dunia kerja, pelayanan, pendidikan bahkan juga dalam rumah tangga. Orang tua, pemuda, remaja dan juga anak-anak terlibat dalam persaingan. Dalam persaingan banyak orang kehilangan dasar pijaknya atau pegangan yang benar yaitu Firman Allah. Firman Allah tidak lagi menjadi dasar, pengaontrol dan pemimpin lagi. Akibatnya banyak orang kehilangan spiritualitannya dan kemanusiaannya yaitu terjadi penghinaan terhadap martabat manusia; pembunuhan, penganiayaan dan penghambat bagi pekerjaan orang lain.
Dalama kekristenan hanya diijinkan istilah : “berkarya”. Profesi apapun yang saudara miliki baik itu seorang pemimpin, karyawan, pelayan Tuhan dan kepala keluarga sekalipun, kita dipanggil untuk berkarya bersama orang lain dengan setia sampai karya kita dipakai Tuhan untuk memberkati banyak orang dan memuliakan diri-Nya.
Dalam teks ini mengisahkan persainagn yang luar biasa dalam keluarga yaitu persaingan untuk memperoleh keturunan (Kej, 30:1-24), dan dalam dunia kerja adalah persaingan untuk memperoleh ternak yang banyak, yang lebih sehat, gemuk dan kuat (Kej, 30:25-43).
Khusus dalam Kejadian 30:25-43, melukiskan kecerdikan Yakub dalam bekerja keras untuk memperoleh ternak (Kambing Domba) dari pamannya Laban. Teks ini juga menjelaskan kelicikan Laban (Paman Yakub), dengan menipu dan memperdayakan Yakub.
Suatu babak perjanjian kerja yang baru antara Yakub dan Laban yaitu bekerja untuk memperoleh hewan ternak (ay. 31-34). Ini adalah babak kerja yang kedua Yakub, dari babak pertama yaitu bekerja untuk memperoleh Istri-istrinya. Inilah proses perjanjian yang harus dilalui Bapa Orang Beriman (Yakub) yang telah mengalami perjumpaan dengan Allah di Betel.

Ada tiga (3) kebenaran penting yang diajarkan Yakub dalam perjalanan hidupnya bagi kita sebagai orang beriman zaman sekarang, yaitu:

1. Istilah Cerdik atau Licik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cerdik diartikan sebagai:
a. Cepat mengerti (tt. Situasi dsb) dan pandaio mencari pemecahannya dsb; panjang akal.
b. Banyak akal (tipu muslihatnya); licik, lcin … buruk, pandai menipu, suka mengakali orang.
Kata “Licik” artinya, banyak akal yang buruk, pandai menipu, culas dan curang.
Ada dua tokoh utama dalam cerita ini yaitu, si Cerdik Yakub dan si Licik Laban. Laban adalah seorang pemimpin sekaligus paman bagi Yakub, seharusnya ia berlaku cerdik, tidak curang dan memperdaya Yakub. Alkitab menujukan bahwa Laban adalah pribadi yang sangat licik (31:2,5 dan 7) = Laban berubah. Berubah dari tidak baik menjadi lebih tidak baik, dari licik dan curang menjadi lebih licik dan lebih curang.
Kelicikan Laban membuat ia kehilangan spiritualitasnya sebagai orang yang beragama (menyembah Terafim) dan kehilangan kemanusiaannya sebagai seorang paman, pemimpin/pengusaha. Laban berlaku curang dengan mengubah semua upah yang seharusnya menjadi milik Yakub menjadi miliknya sendiri.
Sebagai seorang pemimpin, pengusaha dan paman seharusnya, kita memperlakukan para karyawan dan keluarga dengan baik sebagaimana kita ingin juga diperlakukan dengan baik. Inilah kebenarannya. Dalam Injil, Yesus Kristus berkata: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” (Mat. 7:12). Ini adalah aturan emas dan hukum posetif yang Tuhan Yesus ajarkan.
Sifat dan orang seperti siapakah yang akan anda pilih? Si Cerdik Yakub atau si Licik Laban!

2. Orang yang cerdik setia bekerja keras sampai pekerjaanya itu dipakai Tuhan untuk memberkati (memperkaya) banyak orang (ay. 27-30).

Orang yang berjumpa dengan Allah dan berada dalam perjanjian yang benar dengan Allah akan memperkaya banyak orang. Cara berpikir dan gaya hidup Yakub berubah dalam perjumpaannya dengan Allah di Betel. Peristiwa Betel memotifasi Yakub untuk berkarya lebih keras dan melupakan ancaman dari luar (Esau kaknya).
Istri dan anak-anak Yakub merupakan upah (hasil) dari kerja keras Yakub pada Laban. Dalam Alkitab versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) berbunyi: “Mereka telah saya peroleh dengan bekerja keras sekali pada Paman.” Istilah “bekerja” kurang lebih empat kali dipakai dalam teks ini yaitu pada ayat 26, 29 dan 30, itu berarti kata dan tindakan bekerja sangan penting dan besar maknanya bagi kehidupan dan karya Yakub. Perjumpaan dengan Allah di Betel membuat Yakub mengenal betul siapa Allahnya dan bagaimana Allah itu adanya. Allah adalah Allah yang bekerja (berkarya) dari mulanya sampai selamanya. Bekerja adalah jatidiriNya Allah. Allah tidak bisa dipisahkan dari yang namanya bekerja.
Perjumpaan dengan Allah, membuat Yakub mengenal dengan benar dan mengenal siapa dirinya dihadapan Allah. Yakub mengenal dirinya sebagai pribadi yang dipanggil untuk bekerja, sebab bekerja adalah bukti kemanusiaan Yakub.
Sejak awal, Tuhan tidak menciptakan manusia untuk menjadi penganggur, bukan untuk berpangku tangan, melainkan untuk berlelah tangan (bekerja). Manusia yang tidak bekerja mengingkari kemanusiaannya. Manusia harus bekerja. Tanpa bekerja manusia tidak sungguh-sungguh menjadi manusia. Semestinya pekerjaan membuat manusia lebih manusiawi. Bekerja dengan tekun dan setia lebih merupakan respon terhadap panggilan Ilahi.
Semasa hidupnya, Bunda Theresa menasehatkan para pengikutnya untuk tidak mempersoalkan besar kecilnya pekerjaan. Katanya, : “Jangan mencari yang besar-besar, cukup mengerjakan yang kecil-kecil dengan cinta yang besar… makin kecil yang kita hadapi, harus makin besar cinta yang kita berikan. Kualitas menjadi “kata kunci” dan kesetiaan menjadi “patron”.
Dalam ayat 27 dan 30, menjelaskan bahwa kerja keras Yakub dipakai Tuhan untuk memberkati Laban. Tuhan akan bekerja dalam diri orang yang bekerja. Hanya orang yang bekerja keraslah yang mengetahui bahwa Allah bekerja dalam diri mereka. Dan pekerjaan itu akan dipakai Tuhan memberkati banyak orang, memberkati rumah tangga, kantor dan tempat dimana kita berkarya.
Ayat 29,30 => Yakub bekerja keras dan hewan ternak bertambah banyak (berkembang dengan sangat). Alkitab Versi BIS menerjemahkan ayat 30 : “Tetapi sekarang paman sudah kaya.” Orang yang berjumpa dengan Allah seperti Yakub ini akan memperkaya banyak orang. Ketika ia memperkaya banyak orang, ia sendiri tidak kehilangan kekayaannya.
Ayat 31, Yakub memberikan kita pelajaran penting yaitu: Yakub tidak memperoleh kekayaan dengan cara menerima pemberian orang lain (meminta-minta) atau mencuri, melainkan ia bekerja keras… ia tidak gampang menerima sesuatu dari orang lain walaupun itu Paman sendiri, bahkan sekalipun itu juga haknya.
Sebagai Bapa Orang beriman, ia memberikan kita pelajaran penting yaitu: harus bekerja dengan keras dan menjalani kehidupan ini tanpa harus meminta-minta dari orang lain. Yakub mengerti betul dirinya memiliki potensi kreatifitas yang luar biasa yang terus berkembang dan sanggup memuliakan Allah.
Profesi sebagai gembala dalam teks ini mendapat sorotan yang penting, dimana profesi ini ditinggalkan orang, mungkin dianggap hina dan kotor. Tetapi profesi ini yang awal mulanya disorot Alkitab. Yakob seorang Gembala. Sebagai seorang gembala, ia cerdik karena menggunakan dunia pertanian (pohon-pohon) demi kemajuan dunia peternakan. Orang yang cerdik itu kreatif dan berkembang. Waktu empat belas (14) tahun bekerja membuatnya maju dalam pengetahuannya. Iman Kristen yang sejati akan melahirkan kemajuan dalam pengetahuan yang benar dan pengetahuan itu akan melahirkan moralitas yang akuntabel, dan pengetahuan dan moralitas itu akan memperkokoh iman Kristen yang sejati.
Marilah kita bekerja keras, sebagai respon kita terhadap panggilan Allah, sampai kerja keras kita dipakai Tuhan untuk memberkati keluarga, gereja kita, perusahaan kita, sekolah kita, dll, sampai keluar pernyataan : “…telah nyata kepadaku, bahwa Tuhan memberkati aku karena engkau.” (pernyataan Laban. Ayat 27).

3. Dalam semua kecerdikannya, Yakub bekerja dngan jujur (rigtausness) dan akuntabel. (Yakub bekerja dengan integritas yang murni). Ayat 33.

Bapa orang beriman ini memberikan pengajaran penting melalui karya dan hidupnya bahwa kejujuran dan akuntabilitas itu penting sekali sebagai bukti dari integritas orang Kristen.
Dalam bekerja seorang Kisten dituntut untuk hidup jujur dan akuntabel.
Sebagai seorang gembala, hamba Tuhan, pemimpin, politikus, seniman, artis, guru, pelajar, suami dan istri kita dituntut untuk hidup jujur dan akuntabel dihadapan manusia dan Tuhan.
Dalam bekerja Yakub membutuhkan kejujuran dan akuntabilitas, sebagai wujud dari integritasnya yang mulia dihadapan Tuhan, Laban pamannya, istri-istrinya dan anak-anaknya.
Integritas lahir dari Etika dan Moralitas. Secara sederhana, etika adalah standar tentang mana yang benar dan salah, baik dan jahat. Etika adalah apa yang kita pikir baik dan salah, baik dan jahat. Sedangkan Moralitas adalah tindakan aktual tentang hal yang baik dan salah, baik dan jahat. Etika berada pada level teoretika dan Moralitas berada pada level praktika. Integritas adalah integrasi antara etika dan moralitas. Semakin keduanya berintegrasi, semakin tinggi level integritas kita..
Yakub semakin mengkristal dalam kebenaran Tuhan. Pengalaman hidup yang diperdaya oleh pamannya Laban tidak membuat dia kehilangan self-kontrol yakni Firman Allah. Yakub bekerja dengan jujur dan siap diperiksa oleh siapa saja (oleh Laban dan Tuhan).
Orang yang berintgritas seperti Yakub tidak memiliki sesuatu yang perlu disembunyikan atau ditakuti. Hidup mereka transparan bagai surat yang terbuka. Dalam Alkitab Perjanjian Lama ada beberapa tokoh yang mendemonstrasikan prinsip demikian yaitu:
a. Daniel. Saat orang tidak percaya mencari-cari alasan untuk mendakwanya, mereka tidak menemukan kesalahan apapun dalam hidup Daniel. Ia hidup tidak bercacat (Daniel 6:5,6)
b. Samuel. Dalam pidato perpisahannya dihadapan bangsa Israel, Ia berkata bahwa sebagai pemimpin bangsa Israel dari sejak muda sampai tua, Ia akan mengembalikan segala sesuatu yang dianggap telah di ambil atau di nikmati secara tidak adil (1 Samuel 12:1-5). Suatu pernyataan tantangan yang luar biasa dan yang lebih luar biasa lagi adalah tidak ada seorangpun yang merasa di curangi oleh Samuel.
Bersediakah kita untuk diperiksa baik oleh manusia maupun oleh Allah? Adakah kita berintegritas?

Dikhotbahkan di Gereja Allah Di Indonesia Jemaat Serafim
oleh : Ev Jakma Asamau, S.Th., M.A

Sabtu, 06 Februari 2010

DICIPTAKAN UNTUK MELAYANI

Tangan-Mulah yang membentuk dan membuat aku, tetapi kemudian Engkau berpaling dan hendak membinasakan aku (Ayub 10:8), Umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku (Yesaya 43:21).

Allah membentuk setiap makluk dalam dunia dengan bidang keahlian khusus. Beberapa binatang berlari, melompat, berenang, menggali dan terbang. Setiap makluk memiliki peran tertentu untuk dimainkan, berdasarkan cara mereka dibentuk Allah.

Manusia juga dirancang secara unik oleh Allah untuk melakukan hal-hal tertentu. Sebelum seorang arsitek merancang sebuah bangunan baru, mereka terlebih dahulu berpikir untuk apa bangunan itu kelak? Akan digunakan untuk apa? Fungsi bangunan menentukan bentuk bangunan. Sebelum Allah membentuk kita Dia terlebih dahulu menentukan peran kita yang akan kita mainkan dalam dunia ini. Allah merencanakan dengan persis bagaimana Dia ingin kita melayani Dia. Demikianlah Ia membentuk kita dengan tugas-tugas tersebut.
Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”

Setiap pelayan itu unik. Allah menciptakan manusia itu unik pada dirinya sendiri. Setiap pribadi manusia berbeda satu dengan yang lainnya, demikianlah cara Allah merencanakan setiap manusia dalam fungsi dari pelayanan kita kepada Allah, dengan objek pelayanan kita adalah segala ciptaan Allah. Daud berkata, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya (Mzm 139:13,14). Allah tidak saja membentuk kelahiran anda sebelum diciptakan tetapi setiap hari kehidupan anda juga telah ditetapkan Allah. Maz 139:16 Daud kembali berkata: “…dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.” Artinya tidak ada satupun dari klehidupan anda yang tidak penting. Allah memakain semuanya iotu untuk membentuk anda bagi pelayanan anda kepada sesama dan kepada-Nya.

Ada lima (5) factor pendukung yang ditaruh/diberikan Allah kepada kita, bagaimana kita melayani Allah:

1. Karunia Rohani. Rom 12:6-8
Allah memberikan kepada semua orang percaya karunia Rohani untuk di pakai dalam pelayanannya. Karunia tersebut merupakan kemampuan-kemampuan yang Allah berikan untuk melayani Dia, dan itu hanya diberikan kepada orang percaya. 1 Kor 2:14 (BIS) “Orang yang tidak mempunyai Roh Allah, tidak dapat menerima apa yang dinyatakan oleh Roh itu. Sebab bagi orang itu hal-hal tersebut seperti suatu kebodohan saja. Orang itu tidak dapat mengertinya, sebab hal-hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” Karunia Rohani merupakan ekspresi kasih karunia Allah bagi kita, menurut ukuran pemberian Kristus yang dikerjakan oleh satu Roh yang sama.
Setiap karunia untuk satu orang. Karunia setiap orang berbeda. Tujuannya adalah supaya kita saling melayani. Setiap manusia membutuhkan orang lain untuk menjalankan tujuan Allah yakni kita harus saling mengasihi dan saling bergantung. Karunia Rohani kita tidak diberikan untuk kebaikan kita sendiri tetapi juga untuk kebaikan orang lain. Kita harus mengunakan karunia kita, sebab kalau kita tidak mengunakan karunia kita orang lain dirugikan dan sebaliknya kalau orang lain tidak menggunakan karunianya kita dirugikan.

Karunia berkaitan erat dengan kemampuan dan kepribadian.
Kemampuan, berkaitan dengan keahlian (kerajinan, kreativitas dan seni) Keluaran 31:3-5: “Dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah, dengan keahlian dan pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan, untuk membuat berbagai rancangan supaya dikerjakan dari emas, perak dan tembaga; untuk mengasah batu permata supaya ditatah; untuk mengukir kayu dan untuk bekerja dalam segala macam pekerjaan. Pematung, Pelukis, penyanyi, dll.
Kepribadian, berhubungan erat dengan “sifat”. Allah menjadikan orang yang ‘Introvert’ dan ‘Ekstrovert’, pemikir, perasa (Tempramen). 1Kor 12:6: “Ada berbagai-bagai cara mengerjakan pekerjaan Tuhan, tetapi yang memberikan kekuatan untuk itu kepada setiap orang adalah Allah yang satu juga.”
Kepribadian mempengaruhi bagaimana dan dimana kita menggunakan karunia kita. Cth. Dua orang mempunyai karunia Penginjilan, tertapi cara penyampaian dan penekanan berbeda, satu introvert satu ekstrovert.
Jadi dalam tugas pelayanan kita, kita harus menggunakan semua karunia kita untuk kemuliaan Allah (I Kor 10:31).


2. Suara Hati. Amsal 27:19
Alkitab memakai istilah “hati” untuk menggambarkan sekumpulan keinginan, harapan, minat, ambisi, impian dan kasih sayang yang kita miliki. Hati kita mencerminkan segala sumber motivasi kita, yaitu apa yang suka kita lakukan dan apa yang paling kita pedulikan. “Aku mencintaimu dengan segenap hatiku.”
Alkitab berkata: ”Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu” (Amsal 27:19). Hati kita menunjukan kita sesungguhnya, yaitu keadaan sebenarnya kita, bukan keadaan kita menurut pikiran orang lain atau keadaan yang terbentuk karena situasi. Hati kita menetukan mengapa kita mengatakan hal-hal yang kita katakan, mengapa kita merasakan hal-hal yang kita rasakan dan mengapa kita bertindak seperti apa yang kita lakukan.
Hasrat, Minat dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan dari Suara Hati.

3. Pengalaman. 2 Kor 1:4
Secara tidak sadar kita telah dibentuk Allah dengan pengalaman kita dalam kehidupan, yang sebagian besar itu diluar kendali kita. Allah mengijinkan pengalaman-pengalaman ini untuk tujuan-Nya membentuk kita. Roma 8:28,29: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.”

Setidaknya ada ± 6 (Enam) pengalaman yang perlu kita uji, manakah yang lebih sering memacu kita dalam pelayanan kita?

a. Keluarga: apa yang anda pelajari ketika bertumbuh dalam keluarga anda?
b. Pendidikan: Pelajaran apa yang anda paling suka di sekolah?
c. Pekerjaan: Pekerjaan apa yang paling efektif dan paling nikmat yang anda kerjakan?
d. Rohani: waktu manakah yang paling berarti bersama Allah?
e. Melayani: bagaimana anda melayani Allah pada masa lalu?
f. Pengalaman menyakitkan: dari masalah-masalah, luka hati, penderitaan dan pencobaan. Apakah anda telah belajar?

Allah paling sering menggunakan pengalaman-pengalaman yang menyakitkan untuk mempersiapkan kita dalam pelayanan. Allah tidak membiarkan satu luka hati tanpa satu tujuan. Sebenarnya, pelayanan terbesar kita kemungkinan besar berasal dari luka hati kita. Korban Aborsi terbeban dalam pelayanan Aborsi, korban Down Syndrom terbeban melayani para Down Syndrom dsb.
Allah dengan segaja mengijinkan kita mengalami penderitaan yang menyakitkan untuk memperlengkapi kita, bagi pelayanan kepada orang lain. Alkitab mengatakan: “Ia menguatkan batin kami dalam setiap kesukaran yang kami alami, supaya dengan kekuatan yang kami terima dari Allah itu, kami pun dapat menguatkan batin semua orang yang dalam kesusahan.”

Kita sering menyembunyikan pengalaman/masalah menyakitkan kita, karena kita merasa itu aib, tetapi Allah justru menggunakan masalah itu dalam pelayanan kita kepada orang lain.
Paulus memahami betul kebenaran ini, sehingga ia jujur menceritakan masa-masa tertekan yang ia alami. Dia mengakui, “Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati. Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi, karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.”
Seandainya Paulus merahasiakan pengalaman kebimbangan dan tertekan itu, jutaan orang tidak merasakan manfaat dari pengalaman tersebut.

Jumat, 29 Januari 2010

Kisah : Francis Jane Crosby

Francis Jane Crosby terlahir normal pada tanggal 24 Maret 1820. Ketika masih berusia enam minggu, dia menderita infeksi di matanya. Lalu ada seorang yang mengaku-aku sebagai dokter yang mencoba-coba mengobati mata Fanny. Dia meletakkan semangkuk bubur panas di atas kelopak matanya. Akibatnya mata Fanny justru menjadi buta.

Beberapa bulan kemudian, ayah Fanny meninggal dunia. Untuk menghidupi keluarga, Ibunya lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Fanny kecil dititipkan pada neneknya. Dengan sabar, sang nenek mendidik Fanny kecil. Dia sering membacakan Alkitab dan menjelaskan iman Kristen pada Fanny. Ketika Fanny merasa sedih karena tidak bisa bermain seperti anak-anak lain, neneknya lalu mengajarkan cara berdoa pada Tuhan.

Selain itu, ada juga seorang wanita kaya bernama Ny. Hawley yang membantu Fanny menghapal Alkitab. Fanny mampu menghapal kitab Taurat, Injil, Amsal, Kidung Agung dan Mazmur. Kemampuan menghapalnya ini membuat orang lain terkagum-kagum, tetapi Fanny merasa biasa saja. Meski begitu, dia merasa bersyukur sebab dengan kebutaaannya ini malah membuatnya gampang untuk menghapal. Fanny tidak pernah merasa sedih karena kebutaannya ini. Bahkan ketika masih berusia delapan tahun, dia menulis puisi:

Oh, aku anak yang sangat berbahagia,
meskipun tidak bisa melihat!
Aku memutuskan bahwa di dunia ini,
aku akan berpuas hati!
Banyak berkat kunikmati,
yang tidak orang lain dapati!
Untuk menangis atau berduka karena aku buta,
Aku tak akan melakukannya.

Pada usia 12 tahun, Fanny bersekolah di Institut untuk Orang Buta di New York. Dia lalu mengajar di tempat itu sambil terus menulis puisi. Pada tahun 1858, Fanny menikah dengan Alexander van Alstine, seorang pemain organ terkenal di New York. Fanny sendiri sebenarnya juga pandai bermain harpa dan piano. Beberapa tahun kemudian, Fanny diminta penerbit buku "Bigelow and Main" untuk menulis 3 lagu setiap minggu, yang akan dimuat dalam terbitan untuk Sekolah Minggu.

Hingga meninggal Fanny telah menulis 9000 himne. Banyak lagu ciptaannya yang digemari banyak orang dan menjadi abadi. Sampai kini, orang-orang Kristen masih sering menyanyikan lagu-lagu ciptaannya, seperti "Blessed Assurance"(Kuberbahagia, Yakin Teguh)," "All the Way My Savior Leads Me"(Di Jalan 'Ku Diiring), "Pass Me Not, O Gentle Savior"(Mampirlah, dengar Doaku) " Safe in the Arms of Jesus" (S'lamat di Tangan Yesus), "Jesus, Keep Me Near the Cross"(Pada Kaki SalibMu) "I Am Thine, O Lord" (Aku Milik-Mu, Yesus, Tuhanku) dan masih banyak lagi.

Tuhan merencanakan yang terindah bagi Fanny dengan kebutaan itu. Hal ini sangat disadari oleh Fanny. Dia tidak pernah menyesali kekurangannya itu. Dia malah berkata: "[Kebutaan] ini adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada saya." Dia juga berkata, "Apakah jika saya tidak buta, hidup saya bisa seindah sekarang ini?" Di kesempatan lain dia berkata:" Tampaknya ini memang berkat dari Tuhan, yaitu bahwa saya harus buta seumur hidup. Dan saya bersyukur untuk perkecualian ini. Seandainya besok saya ditawari untuk bisa melihat dunia ini dengan sempurna, saya tidak akan menerimanya. Saya mungkin tidak akan pernah bernyanyi memuji Tuhan, jika saya lebih tertarik pada penglihatan yang lebih indah dan menarik."

Suatu kali ada pendeta yang menaruh rasa iba pada Fanny. Dia berkata," Sungguh kasihan. Yang Maha kuasa melimpahkan bakat yang berlimpah-limpah pada Anda, tetapi tidak memberikan penglihatan pada Anda."

Fanny langsung menjawab, “Jika aku bisa dilahirkan lagi, saya akan mengajukan permintaan agar dilahirkan dalam keadaan buta."

“Lho, mengapa begitu?”tanya hamba Tuhan dengan kaget.

“Karena saat saya sampai di Sorga nanti, saya ingin yang pertama kali saya lihat adalah Juruselamat saya."

PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR - Oleh Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D.

LAPORAN BUKU Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR Suatu studi mengenai Gereja Masehi Injili di Timor dal...