Jumat, 06 Agustus 2010

KEPEKAAN SOSIAL DI TENGAH PENGHARAPAN SEJATI

(Tafsiran dan Refleksi Teologis terhadap Matius 25:31-46)


1. Konteks
Matius mengalamatkan tulisannya kepada sidang pembaca perdananya yang berlatar belakang Yahudi. Dengan kata lain, sidang pembaca kitab ini pasca jemaat pembaca perdana termasuk pembaca modern saat ini hendaknya memahami setiap paparan kebenaran kitab ini dengan menimbang dan memperhatikan sifat Yahudinya baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sifat Yahudi Injil ini, yang menekankan penggenapan erjanjian Lama, dimaksudkan sebagai pembelaan Kristen terhadap orang-orang Yahudi yang tidak percaya… Namun Injil ini tidak memberi kesan seola-olah terutama ditulis untuk orang-orang luar tapi seolah-olah ditulis untuk dipakai oleh orang-orang Kristen untuk memperdalam pengertiannya tentang Kristus, supaya kemudian orang itu dapat menggunakannya dalam usaha pembelaan iman Kristen.
Lembaga Alkitab Indonesia membagi kitab ini atas 28 pasal. Pasal 24 dan 25 disebut sebagai khotbah akhir zaman. Dalam kedua pasal inilah, Matius menguraikan tentang perihal kedatangan Yesus untuk kedua kalinya sehubungan dengan tanda-tanda yang akan menandai kedatangan-Nya serta gambaran situasi pada saat kedatangan-Nya kelak. Dalam pasal 25, semua kebenaran yang berhubungan dengan kedatangan Yesus kali yang kedua dipaparkan dalam bentuk perumpamaan. Dimana pada ayat 1-13, pada intinya mengajak setiap pembaca agar selalu siap sedia dalam menanti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Analogi Yesus tentang gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh dimaksudkan-Nya untuk mempertegas keseriusan permintaan-Nya agar setiap pengikut-Nya selalu mawas diri dalam menyongsong kedatangan-Nya untuk kedua kalinya pada waktu yang tak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Yesus sendiri dalam sifat kemanusiaan-Nya (24:36). Sedangkan dalam ayat 14-30, dalam perumpamaan-Nya tentang talenta, Yesus hendak mengungkapkan apa yang mesti dilakukan oleh para pengikut-Nya pada masa penantian tersebut. Pada prinsipnya, Ia ingin mengatkan bahwa kepada setiap pengikut-Nya telah dikaruniakan talenta/potensi/kemampuan. Banyak sedikitnya adalah hal yang relatif tapi yang pasti adalah bahwa tidak semua pengikut-Nya diberi talenta itu, minimal satu. Talenta inilah yang sekaligus menjadi modal bagi setiap pengikut Kristus untuk berkarya nya di tengah dunia yang sementara ini sembari menanti ketangan Kristus untuk kedua kalinya pada waktu yang tentu itu. Jadi alurnya jelas. Yesus mau agar para pengikut-Nya menantikan kedatangan-Nya dalam keadaan pasif. Ia mengharapkan para penanti yang waspada penuh, siap sedia setiap saat tapi tetap aktif dalam memainkan peran sebagai saksi-Nya sesuai dengan talenta yang telah diberikan-Nya.
Nah, di dalam ayat 31-46 inilah, yang oleh LAI diberi judul penghakiman terahir, Yesus ingin memberikan sebentuk panduan praktis tentang bagaimana seharusnya para pengikut-Nya menggunakan talenta yang diberikan-Nya.
Dalam ayat 31, Yesus memakai istilah Anak Manusia yang menunjuk pada diri-Nya sendiri. Seperti yang telah disinggung sejak awal bahwa para penerima awal Injil ini adalah mereka yang berlatar belakang Yahudi maka istilah ini merupakan salah satu ciri/sifat Yahudi Injil ini khususnya perikop ini. Orang Yahudi merasa enggan untuk menyebut kata Allah kendatipun mereka telah menjadi Kristen. Atas alasan inilah, Matius merasa perlu untuk tidak memakai istilah Anak Allah melainkan Anak Manusia dalam tulisannya. Kecuali itu, menurut George Eldon Ladd, dalam tradisi Injil, sebutan Anak Manusia adalah cara yang paling disukai Yesus untuk menyebut diri-Nya sendiri. Sebutan itupun tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk menyebut Yesus. Injil menempatkan sebutan itu dalam ucapan Yesus lebih dari 65 kali. Para bapak gereja memahami bahwa ungkapan itu pertama-tama ditujukan kepada kemanusiaan Anak Allah yang telah menjelma. Dalam konteks ini pula Yesus ingin menonjolkan kemanusiaan-Nya tapi tak kehilangan kemulian-Nya karena dalam ayat ini pula kata kemuliaan-Nya muncul sebanyak dua kali.
Ayat 32 dqn 33 lebih merupakan sebuah gambaran tentang penghakiman terakhir. Penghakiman itu adalah penghakiman universal bagi semua bangsa (ay 32), walaupun pemisahan domba dan kambing kelihatannya penghakiman atas perorangan (bdk Yeh 34:17).
Ayat 34-41 merupakan konklusi yang disodorkan oleh Yesus bagi para pengikut-Nya dalam berbagai interaksi sosial di manapun mereka berada.

2. Pesan/Releksi Teologis

Para pengikut Kristus, setiap orang percaya baik secara organisme maupun sebagai organisasi dituntut agar dalam masa penantian kedatangan Kristus kedua kalinya, harus punya kepekaan sosial dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun bergereja. Setiap orang Kristen dituntut untuk keluar dari jerat eksklusivisme yang sempit karena Yesus adalah Raja atas semua bangsa (ay 32). Setiap orang percaya hendaknya menyadari bahwa kelak mereka akan berhadapan dengan tahta pengadilan Kristus (ay 34). Sekali lagi yang mau ditekankan di sini bukanlah siapa yamg termasuk domba atau kambingnya tapi yang terpenting adalah bahwa akan ada tahta pengadilan Yesus kelak pada saat kedatangan-Nya yang kedua. Untuk setiap perbuatan yang kecil dan sederhana untuk orang-orang kecil dan sederhana akan mendapat apresiasi atau sebaliknya pada saat kedatangan Kristus (ay 34-46). Denagn kata lain oapad pula dikatakan bahwa penulis Injil Matius ingin mengajak dan menggiring para pembacanya sebagai pengikut Kristus agar tetap setia menanti kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Di tengah masa penantian itu, mereka harus tetap memainkan peran sebagai saksi-saksi-Nya. Mereka harus punya kepekaan sosial yang memadai yang memungkinkan mereka untuk berbela rasa dengan orang-orang kecil atau sederhana (kaum marjinal/proletar).

3. Penerapan/Aplikasi Praktis
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bawha dalam kehidupan kita baik dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bergereja terdapat jurang kesenjangan sosial yang menganga lebar dan nyaris tak terjembatani. Jurang antara yang miskin dan yang kaya semakin lebar. Hal ini sekaligus menjadi batu uji bagi gereja dalam menghadirkan dirinya sebagai pengikutt Kristus.
Punulis Injil Matius ingin menggugah nurani kekristenan kita untuk peka dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan kebangsaan dan kegerejaan yang nyaris terkoyak oleh semangat primordialisme yang kaku dan mematikan. Dalam kemanusiaan-Nya tanpa kehilangan kemuliaan-Nya, Yesus ingin mengingatkan kepada kita bahwa akan ada penghakiman pada saat kedatangan-Nya kembali. Sekali lagi tugas kita bukanlah untuk mencari dan menentukan manakah yang termasuk dalam bilangan domba-domba atau sebaliknya kambing-kambing. Tugas kita bukanlah untuk memvonis sembari ‘mengetuk palu’ untuk menghakimi sebagai ‘hakim-hakim kecil’. Celakanya, gereja-gereja dalam konteks Indonesia mudah terbawa dalam pola ini. 324 oraganisasi gereja yang tercatat di Departemen Agama boleh dikatakan sebagai jumlah yang membesarkan dada tapi pada saat yang sama jumlah itu menjadi keprihatinan tersendiri karena sulitnya untuk bersatu disebabkan oleh klaim eksklusif dari masing-masing organisasi yang melihat dirinya sebagai yang paling benar (domba) dan yang lain sebagai yang salah/sesat (kambing). Bahkan ada anekdot: ‘orang kristen itu menyanyi harus lembut (seperti domba). Jadi kalau ada orang Kristen yang menyanyi dengan suara yang nyaring dan melengking maka itu adalah kambing’. Atau ada gereja yang ‘memonopoli’ Roh Kudus dan menganggap yang lain tak ada Roh Kudusnya.
Pada saat yang sama gereja menyadari bahwa bingkai kehidupan kebangsaan dalam konteks NKRI ternoda oleh berbagai krisis kemanusiaan yang memilukan. Angka kemiskinan yang makin tinggi seiring dengan PHK secara besar-besaran sebagai dampak langsung dari krisis keuangan global merupakan realita yang tak terbantahkan. Penggusuran di beberapa tempat menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang harus kehilangan tempat tinggal.
Sebagai orang Kristen, kita seharusnya punya kepekaan sosial, kepekaan nurani kristiani untuk berbela rasa dengan mereka yang terpinggirkan, mereka yang termarjinalkan. Kita tidak harus selalu membiarkan banyak perhatian/waktu kita tersita, banyak energi kita tersedot hanya untuk mengurusi perkara-perkara/’orang-orang besar’ baik bersifat internal maupun eksternal gereja.
Di tengah pengharapan dan penantian kita untuk kedatangan Yesus pada kedua kalinya, kita dituntut untuk peka melihat kehadiran Kristus yang kadang-kadang menjelma dalam diri sesama kita tertindas/terpinggirkan, yang bisa saja mereka bukan/belum menjadi Kristen. Pengharapan kita akan kedatangan Kristus adalah pengharapan sejati yang memungkinkan kita tetap menjadi Kristen sampai hari ini kendatipun kita tahu bahwa gereja dibakar di mana-mana, banyak orang Kristen yang terbunuh, bahkan kita sering dihina, diejek, dikucilkan dan sebagainya. Kita berharap dan menanti saat itu tiba namun dalam masa penantian ini kita tak boleh melalaikan tugas/tanggung jawab dan panggilan kita sebagai kaum tertebus. Kita mesti terus mengasah kepekaan sosial dan kepekaan nurani kristiani kita dalam berbagai interaksi sosial di manapun Tuhan menempatkan kita.
Kita diharapkan agar tak mudah terperangkap dalam jerat rutinisme religius yang dapat mengerdilkan bahkanmematikan kerohanian kita sekaligus munumpulkan ketajaman nurani kristiani kita. Biarlah di tengah rangkain aktivitas gerejawi yang kita lakukan, kita tetap punya kepekaan sosial untuk berbagi dengan setiap mereka yang membutuhkan uluran tangan kita secara khusus bagi kaum proletar yang terpinggirkan. Biarlah pula di tengah kondisi ketidakberpihakan negara pada kaum terpinggirkan itu, kita tetap menunjukkan keberpihakan kita, empati kita pada mereka. Bukankah hal itu yang dilakukan oleh Yesus semasa hidup dan pelayanan-Nya? Bukankah itu pula yang diharapkan oleh Yesus dari masing-masing kita melalui Iniil Matius 25:31-46 ini?

Tidak ada komentar:

PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR - Oleh Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D.

LAPORAN BUKU Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR Suatu studi mengenai Gereja Masehi Injili di Timor dal...