Jumat, 10 April 2015

PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR - Oleh Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D.

LAPORAN BUKU Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR Suatu studi mengenai Gereja Masehi Injili di Timor dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang mendahuluinya. Diterbitkan untuk kalangan sendiri A. Pendahuluan Buku/Diktat Pengabaran Injil di Pulau Timor ini merupakan terjemahan dari “The Proclamation of the Gospel in Timor” karangan Rev. G.S. Dicker, B.A., B.D merupakan permintaan dari Dewan Dosen Akaemi Theologia Kupang (A.T.K) dengan maksud supaya para mahasiswa A.T.K memiliki sebuah buku pegangan dalam Vak Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor. Karangan Dieker cukup lengkap mengenai sejarah pembentukan Gereja Masehi Injili Di Timor dan merupakan buku sejarah pertama mengenai G.M.I.T. Tugas penterjemahan dilakukan oleh Ny. Dra. L. Tedjasudhana, Dosen Bahasa Inggris di Universitas Nusa Cendana dan di A.T.K Mengutip semboyan lama dalam kata sambutan “Historia Vitae Magistra” – “Sejarah menjadi guru dalam hidup kita” merupakan alasan penterjemahan buku karangan Dicker “The Proclamation of the Gospel in Timor” sebagai suatu usaha untuk menolong kita mengenal diri sendiri secara baik supaya apa yang dikerjakan dalam pelayanan masa kini dan masa depan menjadi bertumbuh. Buku ini sangat layak dan harus menjadi komoditi para pelayan Tuhan dan lebih kepada mahasiswa teologi bahkan kepada siapa saja yang berminat, maka pengalaman gereja pada masa lalu tidak terulang. Buku ini terdiri dari 13 bab pokok ditambah dengan 5 bab lampiran yakni: Tata Gereja Masehi Injili di Timor 1958, Tata Cara Kebaktian Umum, Statistik 1960 dan 1975 dan Tata Gereja Masehi Injili di Timor 1973. Untuk kepentingan laporan buku, pelapor akan melaporakan seluruh isi pokok buku yang terdiri dari delapan bab dan lima bab tambahannya. B. Isi Buku Dalam Bab 1. Keadaan Umum, Dicker menggambarkan keadaan umum pulau Timor yang menyangkut keadaan geografis tentang pulau Timor yang pada zaman dulu disebut, “Mutiara dari Timur” yang sesungguhnya pada zaman sekarang ini predikat itu tidak pantas disandang. Timor sekarang menjadi pulau karang yang susah ditanami dan hampir sepanjang tahun nampak kering dan gersang. Seluruh pulau panjangnya kira-kira 480 kilometer dan lebar 96 kilometer dengan puncak tertinggi 3.660 meter. Pulau Timor terletak di luar gugusan kepulauan Indonesia sehingga pulau ini tidak mempunyai susunan tanah vulkanis; Letak Pulau Timor sangat dekat dengan Benua Australia yaitu 640 kilometer sebelah barat laut Darwin. Penduduk Timor terdiri dari beberapa kelompok suku yang berbeda dengan agama asli mereka adalah animisme. Demikian letak geografis Pulau Timor yang dijelaskan dalam buku ini. Penulis juga menjelaskan adanya pulau-pulau lain disekitar pulau Timor yang tidak bisa dipisahkan atau merupakan satukesatuan yakni Pulau Semau, Roti, Sabu, Alor dan Pantar. Penulis juga membandingkan karakteristik masyarakat di setiap pulau-pulau ini, yang akhirnya menjadi bukti nyata keberhasilan dan keterbukaan masyarakat pulau-pulau tersebut terhadap pembaharuan maupun orang asing. Bab 2. Kaum Dominikan dan Belanda, Pulau Timor tidak akan pernah terlepas hubungannya dengan Cendana. Pohon Cendana sejak masa lampau sudah dikenal, batangnya yang putih dengan baunya yang harum sering dipakai untuk upacara-upacara keagamaan di India dan Cina. Karena begitu besarnya permintaan Cendana untuk keperluan diatas, maka hal inilah yang menimbulkan begitu banyaknya bangsa lain (Eropa) datang ke Timor. Dieker menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Eropa datang, Timor sudah mengirim Cendana ke pasaran Asia pada masa Kerajaan Sriwijaya. Dicker melanjutkan penjelasannya tentang awal kedatangan Eropa melalui jalan laut yang ditemukan oleh Vasco da Gama pada tahun 1498. Portugis dan Spanyol dua Negara yang mewakili Eropa ke AsianTenggara ini juga bertujuan selain perdagangan juga pengabaran Injil. Timor secara tidak sengaja ditemukan oleh Antonio de Abreu yang diutus oleh Albuquerque dari Malaka pada tahun 1511yang dalam perjalanan mencari pulau Maluku. Setelah penemuan ini dengan cepat Portugis memperoleh kedudukan dalam perdagangan Cendana sehingga pada pertengahan abad itu sekali setahun kapal-kapal mereka datang mengangkut Cendana melalui Lifau di Oekusi. Pusat kegiatan pegabaran Injil dari Ordo Dominikan berada di Solor, sebuah pulau kecil dikepulauan Sunda Kecil. Dari Solor ini pada tahun 1556 Bruder Antonio Tuveira diutus untuk mengabarkan Injil di Timor. Belanda muncul di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir abad ke-16. Awalnya mereka berjumlah sangat sedikit dan sangat tidak berpengalaman tentang Timur, sehingga Portugis tidak menganggap mereka sebagai saingan. Lebi lanjut Dieker mengatakan bahwa seperti Portugis, Belanda juga tidak mencari koloni di Asia. Tujuan mereka adalah perdagangan antar-benua. Hanya itu saja tidak ada tujuan keagamaan seperti orang Portugis. Kemudian akhirnya ada agama Kristen, menurut dieker itu karena orang Belanda itu pengikut Kalvin, maka hal ini pasti terjadi. Pada tahun 1602 V.O.C terbentuk dengan peleburan dari sepuluh perusahaan yang telah mengirim kapal-kapal mereka ke Timur dengan tujuan Ekonomis tetapi yang terpenting adalah Politis yakni melanjutkan perang melawan Spanyol dan Portugis. Pada tahun 1605 Ambon direbut dari Portugis, tahun 1613 benteng Portugis di Solor direbut dan pada tahun itu juga Belanda mendarat di Kupang. Dieker mengatakan pada waktu itu di Kupang ada Raja dan beberapa rakyatnya menyatakan keinginannya untuk menjadi Kristen sehingga pada tahun berikutnya Ds. N. Van den Broeck dikirim ke Kupang. Kemudian diceritakan bahwa hubungan Belanda dengan Timor tidak memunyai akibat yang penting, perdagangan Cendana tidak berhasil, maka pos ini ditinggalkan, dua tahun berikutnya Solor juga ditinggalkan dan akhirnya tahun 1617 kaum Dominikan mendudukinya kembali namun hanya setahun karena Belanda kembali lagi ke Solor dan Portugis berpindah ke Larantuka di Flores. Solor terus diduduki secara bergantian sampai tahun 1646 orang Belanda menetap disana dan menamakan pertahanan mereka “Fort Hendrikus”. Kupang telah diabaikan sehingga pada tahun 1640-1645 seorang rahib Dominikan Antonio de Sao Jacinto, melanjutkan benteng di kota ini, tetapi sebelum benteng selesai ia meninggal 1649. Pada tahun 1653 Belanda merebut benteng Portugis di Kupang kemudian menetap disana karena Fort Hendrikus di Solor telah hancur karena Gempa Bumi dan mereka menamakan benteng di Kupang “Fort Concordia”. Sejak itu Kupang menjadi pusat perdagangan dan pusat pengaruh Belanda di kepulauan Sunda Kecil. Sementara orang Portugis tidak mempunyai tempat kedudukan yang tetap meskipun Lifau telah menjadi pelabuhan persinggahan mereka dan raja daerah itu telah ditobatkan. Pada tahun 1702 Lifau akhirnya menjadi pusat kekuasaan Portugis dan yang menjadi Gubernur pada waktu itu adalah Antonio Goelho Goerreiro hingga pada akhirnya orang-orang Portugis menetap di Dili. Dicker mengakhiri bab ini dengan sebuah kisah peperangan antara Portugis dan Belanda yang terjadi di Penfui beberapa kilometer dari Kupang. Dikisahkan bahwa Belanda diserang oleh Portugis pada bulan November 1749. Pasukan Lifau (Portugis Hitam) yang telah tiba, berkemah di dataran Penfui, sementara Belanda dipimpin oleh Lip berangkat menyerang mereka. Pertempuran pun terjadi dan akhirnya dimanangkan oleh Belanda. Semenjak itu Portugis Hitam dan sepupunya yang berkulit putih tidak pernah mengganggu Belanda lagi. Bab 3. Periode Pekabaran Injil yang Pertama. Penulis memberikan penghargaan kepada Portugis sebagai orang-orang pertama yang membawa agama Kristen di Timor. Kegiatan orang-orang Portugis (Ordo Dominikan) terbatas di wilayah yang sekarang menjadi enklev Portugis yaitu di Oekusi. Penulis juga menyatakan bahwa kaum Dominikan yang mengaku telah mentobatkan puluhan ribu orang sukar dipercaya karena mereka yang telah dikatakan bertobat masih memiliki kebiasaan yang buruk yakni masih mempersembahkan/mengorbankan orang dalam upacara adat mereka. Para Frater dari Ordo Dominikan ini juga memiliki sikap, sifat dan perilaku yang buruk, rakus uang dan memelihara perempuan yang berprilaku buruk. Khusus untuk para Frater Dominikan ini, penulis mengatakan “buah-buah mereka bukanlah apa yang mereka kumpulkan dari kebun anggur Tuhan, melainkan dihasilkan dari cara hidup mereka yang bebas”. Penulis mengisahkan kembali awal mula kedatangan Belanda ke Indonesia, dimana mereka, datang dalam situasi nasional yang belum mantap dan dalam tradisi keagamaan yang berubah-ubah sehingga tidak ada gairah yang besar dibidang pekabaran Injil. Lebih Lnjut penulis menceritakan bahwa pekabaran Injil Belanda diawasi V.O.C. V.O.C bertanggungjawab memelihara iman khalayak ramai yakni orang-orang yang dibawanya ke Indonesia. Tugas pengabaran Injil dilakukan jikalau tidak mengganggu kepentingan perdagangan. Semua Pendeta yang datang ke Indonesia harus menjadi pegawai V.O.C. Biaya sekolah dan perjalanan, serta menyediakan perumahan dan penerbitan Kitab Suci kepada para Pendeta ditanggung V.O.C, namun hambatan mereka adalah semua hubungan dengan Belanda (Gereja Belanda) disensor sehingga Gereja disana tidak mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkembangan pekabaran Injil di Indonesia. Penulis megetengahkan perkembangan pengabaran Injil di Timor berawal dari Ds. M. van den Broeck pada tahun 1614 kemudian berganti pada tahun 1670 Ds. C. Keyserskind di tempatkan di Kupang. Ketika sampai di sana jemaat Kristen berjumlah 10 orang. Sepuluh tahun kemudian jemaatnya berjumlah 59 orang diantaranya 47orang dewasa. Keyserskind digantikan oleh Ds. A. Carpius tetapi ia hanya bertahan selama setahun karena masalah kesehatan. Selanjutnya tugas pengabaran Injil dilanjutkan oleh “Pengunjung Orang Sakit” (POS). jumlah POS di Kupang sangat sedikit. Dari POS tugas pengabaran Injil beralih ke Paulus Kupang orang asli Indonesia yang kemudian menjadi POS dan meninggal 1716 lalu dilanjutkan oleh Amos Pieterzoon Thenu masih orang Indonesia kemudian beralih lagi ke POS dari Belanda pada tahun 1719 dan sepuluh tahun kemudian jemaat di Kupang bertambah menjadi 460 orang dan 60 orang diantaranya anggota Sidi; kira-kira pada waktu itu agama Kristen masuk ke Pulau Roti. Penulis menuturkan perkembangan Kristen di Roti lebih berkembang waktu itu karena Raja Thi dan beberapa pengikutnya minta dibabtis di Batavia dan setelah kembali ia memperkenalkan agama baru itu kepada rakyatnya. Agama Kristen berkembang di Roti sampai mencapai 1324 orang dan pada tahun 1760 berkembang menjadi 5870 orang. Di Pulau Sabu agama Kristen cukup berkembang dari 600 orang sampai mencapai lima jemaat dengan jumlah anggota 826 orang. Abad ke 18 adalah masa yang penuh kesulitan. Belanda terlibat perang bersama Napoleon melawan Inggris. Pekerjaan pekabaran Injil di Timor dibiarkan tidak terurus. V.O.C bangkrut karena para pejabatnya korupsi. Dengan demikian berakhirlah masa perdagangan dan pemerintahan Belanda di Asia dengan demikian berakhir juga periode pertama dari kegiatan pekabaran Injil Belanda (Oud-Hollandse Zending). Satu setengah abad Oud-Hollandse Zending telah bekerja di Timor dan di daerah lain di Indonesia namun hasilnya mengecewakan. Penulis menyebutkan beberapa faktor penghambat perkembangan pekabaran Injil di Indonesia antara lain: 1. Penyakit tropis. Banyak penginjil yang mati karena faktor ini. 2. Kurangnya pegabar Injil. 3. Kurangnya kemauan dan minat yang kuat untuk mengabarkan Injil. Tujuan V.O.C adalah berdagang bukan menginjil. 4. Peraturan yang dipaksakan kepada Gereja di Indonesia. Kebebasan POS terbatas. 5. Bahasa. Bab 4. Periode Kedua. Penulis melukiskan keadaan Indonesia khususnya Indonesia bagian Timur yang masih kacau karena pada akhir awal abad 18 Inggris mengambil alih kekuasaan dari Belanda pada 18 September 1811 sampai 19 Agustus 1816. Keadaan pekabaran Injil di seluruh kepulauan Timor dalam keadaan kacau. Dieker mengulas sedikit dari pembentukan Nederlandse Zending Genootchap (NZG) yang terbentuk pada, 19 Desember 1797 karena terinspirasi oleh Perserikatan Pekabaran Injil London (The London Missionary Society –L.M.S). NZG meyadari kesalahan yang yang telah dibuatnya pada pada periode pekabaran Injil yang pertama dibawa V.O.C. yang berusaha membuat orang Kristen di Indonesia yang segala-galanya menyerupai orang Kristen Belanda. Penulis menjelaskan berbagai upaya dan kebijakan NZG untuk memperbaiki sistim dan cara pekabaran Injil di Indonesia khususnya di Timor yakni mengajarkan “Agama Kristen yang Murni” dan “Injil yang lengkap”, tetapi justru sebaliknya mereka mengajarkan Injil yang tidak lengkap, seperti kata Abineno yang dikutip penulis bahwa: pengertian mereka tentang Injil ternyata semacam agama yang kabur yang tidak jelas alirannya, dimana agama Kristen dan kebudayaan Barat hampir disamakan. Perkembangan pekabaran Injil di Timor pada masa NZG terletak pada dua nama besar yakni, Ds. R. Le Bruijn (1819) dan Hejmering. Hambatan terbesar mereka adalah bekerja seorang diri dan faktor kedua adalah kesehatan(Penyakit). Keadaan ini yang menurut penulis mengatakan pekerjan pekabaran Injil di Timor tidak berkembang pada masa NZG adalah Pertama: Tenaga Pengajar dan pengabaran Injil kurang. Semua dikerjakan oleh satu orang ,(hal 18-19). Kedua penyakit. Perembangan Injil di Roti dan Sabu terkendala tenaga pekabar Injil juga faktor penguasaan bahasa setempat dan penyakit yang dialami oleh para oengabar Injil dari NZG. Secara keseluruhan faktor penyakit ini sangat memengaruhi perkembangan pekabaran Injil di Timor dan pulau-pulau sekitarnya. Tenaga pekabaran Injil yang sakit sering cuti berobat yang dengan sendirinya akan meninggalkan daerah-daerah ini untuk waktu yang cukup lama, sehingga meskipun banyak yang sudah menjadi Kristen tetapi kehidupan kekristenan tidak terlihat seperti yang dilaporkan oleh : Ds. L. J. Van Rhijn dalam kunjungan Inspeksi pada Juni 1847 yakni: “orang-orang Krsten di Timor dan Roti hampir tidak bisa dibedakan dengan orang kafir. Pekerjaan NZG di wilayah Timor tidak membawa hasil yang menyenangkan, pekerjaan pekabaran Injil sering dihambat oleh penyakit dan kematian. Ketidak mengertian orang-orang terhadap bahasa yang dipakai dalan pekerjaan pekabaran Injil yang sesungguhnya sudah disampaikan tidak diperhtikan. Jadi pekerjaan pekabaran Injil dalam periode NZG kurang berketetapan hati dalam menjalankan tugasnya di daerah Timor. Banyak sekali kesempatan berharga yang dibiarkan begitu saja karena kurang keuletan. Akhirnya penulis menceritakan periode kedua berakhir dengan hasil yang amat sedikit. Bab 5. Periode Gereja Protestan. Penulis memberitakan pribadi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pekabaran Injil di Timor setelah NZG mengundurkan diri dari Timor, yakni Isaac Esser; seorang Residen Belanda yang ditempatkan di Kupang. Lebih jelas penulis menjelaskan bahwa sebelum dan sesudah dia tidak ada seorang Residen yang seperti dia. Ia seorang yang mempunyai keyakinan Kristen yang kuat, perhatian dan aktif dalam kegiatan pekabaran Injil. Sebagai contoh di Kupang ada perkumpulan doa yang diadakan sebulan sekali pada waktu bulan purnama; semua orang berkumpul dibawa sinar bulan purnama ditengah lapangan sambil mendengarkan Isaac Esser menceritakan pekerjaan Zending di banyak tempat dan cerita yang berhubungan dengan pekabaran Injil. Gereja Protestan di Timor mulai terbentuk pada 1864 dan 13 tahun kemudian Jemaat di Roti dimasukan menjadi anggota Gereja Protestan. Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk = IK) dapat dikatakan sebagai anak dari Raja Willem I karena setelah Indonesia Timur dikembaikan oeh Inggris ke Belanda, wiayah ini berada langsung dibawah pengawasan Raja Belanda melalui metri urusan jajahan, dengan membentuk Komisi Den Hagg yang bertindak sebagai penasehat dan bertugas menyediakan pengabar-pengabar Injil bagi Gereja di Indonesia. Peraihan dari NZG ke IK tidak mempunyai arti langsung bagi Timor. Sebagai wakil Denselaar bekerja seperti biasa pada waktu NZG. Sepintas statistic pertumbuhan gereja di Timor, IK sedikit sekali memperoleh warisan dari NZG, baik di Kupang, Oesapa, dan Baubau kecuali Roti. Demikianlah di Timor sampai akhir abad itu, keadaannya sama seperti pada waktu masa NZG. Yang sangat peting bagi perkembangan Injil atau agama Kristen di Timor, adalah operasi keamanan oleh Pemerintah Belanda yang dimuai pada tahun 1905. Selain disekitar Kupang dan Atapupu dipantai Timor Tengah Utara, Raja-raja Timor sering bertindak sesuka hati menentang Belanda dengan menentang pekerjaan para Zending.. pada tahun 1912 seluruh pedalaman Timor telah diamankan dan pekerjaan Injil sekarang dapat berjalan dengan baik sampai ke pedalaman tanpa gangguan. Ds. Willem Back seorang pengabar Injil berpendidikan Universitas ditempatkan di Timor pada 1910. Dialah yang pertama menggunakan administrasi IK yang khas di Keresidenan Timor. Dan di bawah pimpinan Back Injil masuk Alor dan pada tahun 1911 di Alor ia membabtis 100 orang. Penulis menjelaskan lebih lanjut mengenai kendala-kendala yang menghambat pekerjaan Injil di Timor yakni Bahasa, penyakit. Baik penguasaan bahasa Melayu oleh para pengabar Injil dan para pendengar Injil (Orang Timor) menjadi halangan utama. Bab ini ditup dengan unkapan Kraemer “menurut hukum kegerejaan, Gereja Protestan di Indonesia memang istimewa dalam arti keistimewaan yang keliru: ia Gereja Negara, bukan Gereja Nasional, juga bukan Gereja Bebas”. Dari keistimewaan yang keliru ini lahirlah Gereja Masehi Injii di Timor yang masih berjuang membebaskan dirinya dari kelemahan-kelemahan yang diwarisinya. Bab. 6. Zaman Pendudukan Jepang. Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan faktor penting dalam perkembangan Gereja Timor. Pada tanggal, 20 dan 22 Februari 1942, Jepang mendarat di Timor dan tidak mendapat perlawanan sedikitpun. Orang –orang Belanda dipenjarakan atau diberi tahanan rumah sehingga Gereja kehilangan pemimpin Asing tetapi jauh sebelumnya pimpinan atas Gereja sudah diserahkan kepada para pemimpin Indonesia dan kepada Guru-guru Sekolah Kristen untuk mentaati pendeta di Distrik masing-masing. Sifat Jepang disetiap tempat sesuai dengan sifat pemimpinnya atau Perwira yang ditempatkan disana. Tetapi karena Jepang melihat Gereja sebagai alat dari Belanda, maka mereka mengambil sikap keras kepada Gereja, Sekolah dipisahkan dari Gereja dan pendeta-pendeta Indonesia di jadikan guru sekolah Jemaat dilarang berkumpul di Gereja dan Sekolah-sekolah. Gedung Gereja dijadikan Barak, Gudang dan juga sebagai kandag. Selama pendudukan Jepang di Timor, tiga Pendeta Timor ditembak mati yakni: S. Dekuanan, L. Riwu dan Bernadus Sau. Selama masa pendudukan Jepang pada umumnya semua penduduk mengalami berbagai macam siksaan. Bagi setiap orang waktu merupakan waktu yang penuh pederitaan dan kesukaran. Segala bentuk bantuan berhenti dan mereka harus hidup dengan hasil bumi yang sangat sedikit, ditampahlagi mereka harus memberikan makanan bagi Jepang. Dalam keadaan yang sulit itu para pendeta justru tetap setia melayani dan menolak bekerja bagi Jepang dan mereka hidup dengan berbagi antara pendeta dengan jemaat. Pada waktu itu Gereja di Timor justru semakin maju. Pada tahun 1945 di bulan Oktober diadakan Sidang Umum untuk memperbaiki dan memperbaharui serta pengokohan Gereja. Dua tahun berikutnya bertepatan dengan hari raya Reformasi 1947 Gereja Masehi Injili di Timor berdiri dengn resmi sebagai gereja yang berdiri sendiri dan merdeka. Bab.7 Kemerdekaan. Penulis memulai bab ini dengan bertanya: Apa yang dimaksud dengan kemerdekaan? Gereja Timor juga harus menjawab pertanyaan ini. Selama dua tahun perang dan dua tahun berikutnya Gereja Timor mengalami kebebasan. Tetapi setelah berdiri masih ada Tiga faktor penting yang harusnya gereja terbebas darinya yakni: 1. Kurangnya tenaga penginjil, sehingga Belanda masih memegang peranan sebagai Moderator sampai tahun 1950, Ds. J.L. Ch. Abineno dipiih menjadi Moderator. 2. Aggaran Dasar Gereja Timor masih Anggaran Dasar Gereja Protestan. 3. Keuangan. Selama dua tahun setelah kemerdekaan Gereja Timor masih menerima bantuan dari Belanda, para pendeta Indonesia masih digaji oleh Belanda Ketidak mampuan untuk berdiri sendiri mempunyai akibat yang serius. Dengan adanya bantuan yang terus menerus dari atas ini akan membuat para Pendeta bekerja denganpola lama seperti jaman Belanda, mereka hanyalah pegawai dari pemerintah Belanda. Bab. 8 Perkembangan-Perkembangan Sejak Kemerdekaan. Penuis memaparkan beberapa perkembangan setelah kemrdekaan sebagai berikut: 1. Penerbitan Perjanjian Baru daam bahasa Timor dan Nyanyian Rohani “Si Neno Unu ma Muni” 2. Anggaran dasar Gereja yang baru (1958)h.33 3. Pertumbuhan Sekularisme dan timbulnya kekafiran setelah orang menjadi Kristen. Demikian beberapa perkembangan yang terjadi dalam Gereja Timor. Ketiga faktor diatas terjadi karena begitu banyaknya persoalan yang dialami Gereja Timor, sehingga memaksa Gereja untuk segera melakukan perbaikan-perbaikan mendesak disemua bagian dalam aspek kehidupan Gereja. Bab. 9 Struktur Gereja. Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang struktur Gereja di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Badan tertinggi GMIT adalah Sinode. Dibawa Sinode ada Klasis, dibawa Klasis ada Jemaat. Struktur GMIT paling tepat digambarkan sebagai Presbyterial Synodal. Lebih lanjut dalam bab ini, penulis menjelaskan syarat-syarat sidang Sinode, sidang Klasis, syarat pengabar Injil, Tua-tua Jemaat, bahkan syarat calon Pendeta dan semua ini diatur dalam undang-undang Gereja yang tidak boleh bertentangan dengan Firman Tuhan. Bab. 10 Gereja yang Bergerak. Ibadah, biasanya hari minggu. Jalannya Ibadah sesuai dengan Liturgi yang telah ditetapkan oleh Sinode. Puji-pujian dan Doa. Bagian terpenting dalam Ibadah adalah Khotbah yang diambil dari Alkitab. Pengabaran Injil, pengijilan oleh Gereja Timor jarang sekali terjadi, mereka biasanya hanya menjaga jemaat yang sudah ada. Meskipun ada ibadah-ibadah di tempat terbuka tidak bertujuan adanya upaya penginjilan. Pendidikan Kristen, di Gereja Timor pendidikan Kristen sulit berjalan, baik sekoah Minggu, Katekasasi, perkumpulan wanita atau perkumpulan yang diadakan di rumah-rumah. Karena pertemuan itu hanya menjadi ibadah pendek. Keuangan. Bab 11. Gereja dan Masalah-Masalah Sosial. Penulis mengungkapkan bahwa masalah-masalah sosial yang dihadapi Gereja Timor adalah “Pemabukan”. Terhampar luasnya bahan baku minuman keras (Laru dan Sopi) yakni Pohon Lontar di Timor memungkinkan siapa saja dapat menemukan dan memamfaatkannya. Gereja Timor tidak berbuat banyak mengenai masalah ini. Latar belakang Gereja Timor yang bersifat Eropa tidak bisa diharapkan melarang penggunaan minuman keras secara total. Masalah sosial yang lainnya adalah perjudian. Sementara itu GMIT hanya menunjukan perhatiannya terhadap Pernikahan dan hubungan seksual diluar pernikahan (h. 49-51). Bab 12. Gereja Timor dan Gereja Dunia. Secara struktur Gereja Timor/GMIT termasuk Gereja Hervormd dan Presbyterian, meskipun Gereja Induknya Gereja Protestan Indonesia, seharusnya tidak beraliran apapun tetapi pengaruh Gereja Hervormd Belanda terhadap kehidupan dan struktur gereja Indonesia sangat besar. GMIT juga menginginkan masuk dalam Persekutuan Gereja Kristen Dunia dengan langkah pertama menjadi anggota Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Anggota GPI adalah Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). GMIT juga merupakan anggota Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) yang bertujuan membentuk satu Gereja Kristen di Seluruh Indonesia. GMIT juga mengembangkan diri dengan gereja-gereja Kristen diluar batas Negara dengan langkah pertama ia menjadi anggota dari Dewan Gereja-Gereja se Dunia (DGD) dan menjadi anggota dari East Asian Christian Conference (EACC). Selain badan-badan Organisaai Gereja diatas, GMIT juga mempunyai “Rekan Asing” atau orang asing yang berkunjug ke GMIT dan hubungan persahabatan dengan banyak Gereja di Dunia yakni Gereja Hervormd di Belanda, Gereja Methodist Australia, Gereja Presbyterial Australia dan Gereja Mennonite Amerika. Selanjutnya penulis menguraikan tentang segala kententuan atau peratran yang harus dijalani oleh GMIT dalam hubungan dengan “Rekan Asing” dan juga persoalan-persoaalan pengabaran Injil di wilayah GMIT. Bab 13. Kekuatan dan Kelemahan. Penulis mengawali bab ini dengan kalimat “Tidak mungkin menilai dengan tepat kekuatan Gereja dengan angka”, dari data statistic terakhir 1955 anggota baptis di GMIT berjumlah : 283.814 orang dan anggota sidi berjumlah: 38.271 orang. Muller Kruger dalam bukunya : “Sejarah Gereja di Indonesia” mencatat anggota GMIT sebayak 300.000 orang dengan 80 Pendeta. Data ini yang diperkirakan tepat. Daerah lain di Timor seperti Sabu, data statistik 1955 menunjukan 13.532 anggota yang sudah dibaptis, dibadingkan dengan statistik 15 tahun kemudian jumlah anggota hanya sedikit dibawah 4.000 orang. Sabu masih dianggap pusat kekafiran yang kuat. Roti, data statistic 1955 mempunyai anggota baptis sebanyak 53.046 orang dari 65.000 penduduk dan 15 tahun terakhir bertambah sebanyak 14.000 orang. Angka yang luar biasa untuk tempat dengan gereja yang sering ditinggalkan berulang kali dan dibiarkan tanpa pemimpin. Hal inilah yang menjadi sebab di Roti telah berkembang kebiasaan dan cara berpikir salah yang susah dihapuskan dan ini bukanlah sikap Kristen yang baik. Di Alor dan Pantar, statistik tahun 1955 orang Kristen berjumlah 81.892 orang dan setahun berikutnya seluruh penduduk Alor dan Pantar yang berkepercayaan animisme semuanya telah menjadi Kristen kecuali penduduk yang beragama Islam yang sudah lama ada di sana. Alor adalah tempat dengan jumlah penduduk paling tipis/sedikit dibanding daerah lain di Timor. Jumlah terbesar penduduk Timor ada di pulau Timor. Statistik 1955 anggota baptisan berjumlah: 132.754 orang. Beberapa kelemahan pertumbuhan Gereja Timor adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya rasa persatuan berdasarka persekutuan Kristen (Koinonia). 2. Berkembangnya kesadaran masyarakat golongan menegah yang menyebabkan pemisahan dari golongan lain. 3. Kesalahan Struktur Gereja dalam kaitan Undang-Undang Gereja. 4. Khotbah yang tidak kontekstual. Khotbah, gereja dan jemaat tidak terjadi hubungan yang baik. 5. Jumlah pendeta tidak memadai dan pendidikan kependetaan yang kurang. 6. Tidak adanya kegiatan yang efektif bagi kaum muda 7. Kegagalan memberikan kesaksian dalam beberapa masalah sosial. Adalah suatu kekeliruan untuk menilai Gereja dari banyaknya kebaikan-kebaikan manusiawinya saja. Apabila sebuah Gereja seperti Gereja Korintus, memberikan kepada Paulus penderitaan yang paling besar dan pengalaman yang paling pahit, ia tetap merupakan Gereja. Itulah ungkapan penulis mengakhiri bab ini.

PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR - Oleh Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D.

LAPORAN BUKU Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR Suatu studi mengenai Gereja Masehi Injili di Timor dal...