Rabu, 16 Maret 2011

KEPEKAAN SOSIAL DI TENGAH PENGHARAPAN SEJATI

Tafsiran dan Refleksi Teologis terhadap Matius 25:31-46

1. Konteks
Matius mengalamatkan tulisannya kepada sidang pembaca perdananya yang berlatar belakang Yahudi. Dengan kata lain, sidang pembaca kitab ini pasca jemaat pembaca perdana termasuk pembaca modern saat ini hendaknya memahami setiap paparan kebenaran kitab ini dengan menimbang dan memperhatikan sifat Yahudinya baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sifat Yahudi Injil ini, yang menekankan penggenapan Perjanjian Lama, dimaksudkan sebagai pembelaan Kristen terhadap orang-orang Yahudi yang tidak percaya… Namun Injil ini tidak memberi kesan seola-olah terutama ditulis untuk orang-orang luar tapi seolah-olah ditulis untuk dipakai oleh orang-orang Kristen untuk memperdalam pengertiannya tentang Kristus, supaya kemudian orang itu dapat menggunakannya dalam usaha pembelaan iman Kristen.
Lembaga Alkitab Indonesia membagi kitab ini atas 28 pasal. Pasal 24 dan 25 disebut sebagai khotbah akhir zaman. Dalam kedua pasal inilah, Matius menguraikan tentang perihal kedatangan Yesus untuk kedua kalinya sehubungan dengan tanda-tanda yang akan menandai kedatangan-Nya serta gambaran situasi pada saat kedatangan-Nya kelak. Dalam pasal 25, semua kebenaran yang berhubungan dengan kedatangan Yesus kali yang kedua dipaparkan dalam bentuk perumpamaan. Dimana pada ayat 1-13, pada intinya mengajak setiap pembaca agar selalu siap sedia dalam menanti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Analogi Yesus tentang gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh dimaksudkan-Nya untuk mempertegas keseriusan permintaan-Nya agar setiap pengikut-Nya selalu mawas diri dalam menyongsong kedatangan-Nya untuk kedua kalinya pada waktu yang tak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Yesus sendiri dalam sifat kemanusiaan-Nya (24:36). Sedangkan dalam ayat 14-30, dalam perumpamaan-Nya tentang talenta, Yesus hendak mengungkapkan apa yang mesti dilakukan oleh para pengikut-Nya pada masa penantian tersebut. Pada prinsipnya, Ia ingin mengatkan bahwa kepada setiap pengikut-Nya telah dikaruniakan talenta/potensi/kemampuan. Banyak sedikitnya adalah hal yang relatif tapi yang pasti adalah bahwa tidak semua pengikut-Nya diberi talenta itu, minimal satu. Talenta inilah yang sekaligus menjadi modal bagi setiap pengikut Kristus untuk berkarya nya di tengah dunia yang sementara ini sembari menanti ketangan Kristus untuk kedua kalinya pada waktu yang tentu itu. Jadi alurnya jelas. Yesus mau agar para pengikut-Nya menantikan kedatangan-Nya dalam keadaan pasif. Ia mengharapkan para penanti yang waspada penuh, siap sedia setiap saat tapi tetap aktif dalam memainkan peran sebagai saksi-Nya sesuai dengan talenta yang telah diberikan-Nya.
Nah, di dalam ayat 31-46 inilah, yang oleh LAI diberi judul penghakiman terahir, Yesus ingin memberikan sebentuk panduan praktis tentang bagaimana seharusnya para pengikut-Nya menggunakan talenta yang diberikan-Nya.
Dalam ayat 31, Yesus memakai istilah Anak Manusia yang menunjuk pada diri-Nya sendiri. Seperti yang telah disinggung sejak awal bahwa para penerima awal Injil ini adalah mereka yang berlatar belakang Yahudi maka istilah ini merupakan salah satu ciri/sifat Yahudi Injil ini khususnya perikop ini. Orang Yahudi merasa enggan untuk menyebut kata Allah kendatipun mereka telah menjadi Kristen. Atas alasan inilah, Matius merasa perlu untuk tidak memakai istilah Anak Allah melainkan Anak Manusia dalam tulisannya. Kecuali itu, menurut George Eldon Ladd, dalam tradisi Injil, sebutan Anak Manusia adalah cara yang paling disukai Yesus untuk menyebut diri-Nya sendiri. Sebutan itupun tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk menyebut Yesus. Injil menempatkan sebutan itu dalam ucapan Yesus lebih dari 65 kali. Para bapak gereja memahami bahwa ungkapan itu pertama-tama ditujukan kepada kemanusiaan Anak Allah yang telah menjelma. Dalam konteks ini pula Yesus ingin menonjolkan kemanusiaan-Nya tapi tak kehilangan kemulian-Nya karena dalam ayat ini pula kata kemuliaan-Nya muncul sebanyak dua kali.
Ayat 32 dqn 33 lebih merupakan sebuah gambaran tentang penghakiman terakhir. Penghakiman itu adalah penghakiman universal bagi semua bangsa (ay 32), walaupun pemisahan domba dan kambing kelihatannya penghakiman atas perorangan (bdk Yeh 34:17).
Ayat 34-41 merupakan konklusi yang disodorkan oleh Yesus bagi para pengikut-Nya dalam berbagai interaksi sosial di manapun mereka berada.

2. Pesan/Releksi Teologis
Para pengikut Kristus, setiap orang percaya baik secara organisme maupun sebagai organisasi dituntut agar dalam masa penantian kedatangan Kristus kedua kalinya, harus punya kepekaan sosial dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun bergereja. Setiap orang Kristen dituntut untuk keluar dari jerat eksklusivisme yang sempit karena Yesus adalah Raja atas semua bangsa (ay 32). Setiap orang percaya hendaknya menyadari bahwa kelak mereka akan berhadapan dengan tahta pengadilan Kristus (ay 34). Sekali lagi yang mau ditekankan di sini bukanlah siapa yamg termasuk domba atau kambingnya tapi yang terpenting adalah bahwa akan ada tahta pengadilan Yesus kelak pada saat kedatangan-Nya yang kedua. Untuk setiap perbuatan yang kecil dan sederhana untuk orang-orang kecil dan sederhana akan mendapat apresiasi atau sebaliknya pada saat kedatangan Kristus (ay 34-46). Denagn kata lain oapad pula dikatakan bahwa penulis Injil Matius ingin mengajak dan menggiring para pembacanya sebagai pengikut Kristus agar tetap setia menanti kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Di tengah masa penantian itu, mereka harus tetap memainkan peran sebagai saksi-saksi-Nya. Mereka harus punya kepekaan sosial yang memadai yang memungkinkan mereka untuk berbela rasa dengan orang-orang kecil atau sederhana (kaum marjinal/proletar).

3. Penerapan/Aplikasi Praktis
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bawha dalam kehidupan kita baik dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bergereja terdapat jurang kesenjangan sosial yang menganga lebar dan nyaris tak terjembatani. Jurang antara yang miskin dan yang kaya semakin lebar. Hal ini sekaligus menjadi batu uji bagi gereja dalam menghadirkan dirinya sebagai pengikutt Kristus.
Punulis Injil Matius ingin menggugah nurani kekristenan kita untuk peka dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan kebangsaan dan kegerejaan yang nyaris terkoyak oleh semangat primordialisme yang kaku dan mematikan. Dalam kemanusiaan-Nya tanpa kehilangan kemuliaan-Nya, Yesus ingin mengingatkan kepada kita bahwa akan ada penghakiman pada saat kedatangan-Nya kembali. Sekali lagi tugas kita bukanlah untuk mencari dan menentukan manakah yang termasuk dalam bilangan domba-domba atau sebaliknya kambing-kambing. Tugas kita bukanlah untuk memvonis sembari ‘mengetuk palu’ untuk menghakimi sebagai ‘hakim-hakim kecil’. Celakanya, gereja-gereja dalam konteks Indonesia mudah terbawa dalam pola ini. 324 oraganisasi gereja yang tercatat di Departemen Agama boleh dikatakan sebagai jumlah yang membesarkan dada tapi pada saat yang sama jumlah itu menjadi keprihatinan tersendiri karena sulitnya untuk bersatu disebabkan oleh klaim eksklusif dari masing-masing organisasi yang melihat dirinya sebagai yang paling benar (domba) dan yang lain sebagai yang salah/sesat (kambing). Bahkan ada anekdot: ‘orang kristen itu menyanyi harus lembut (seperti domba). Jadi kalau ada orang Kristen yang menyanyi dengan suara yang nyaring dan melengking maka itu adalah kambing’. Atau ada gereja yang ‘memonopoli’ Roh Kudus dan menganggap yang lain tak ada Roh Kudusnya.
Pada saat yang sama gereja menyadari bahwa bingkai kehidupan kebangsaan dalam konteks NKRI ternoda oleh berbagai krisis kemanusiaan yang memilukan. Angka kemiskinan yang makin tinggi seiring dengan PHK secara besar-besaran sebagai dampak langsung dari krisis keuangan global merupakan realita yang tak terbantahkan. Penggusuran di beberapa tempat menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang harus kehilangan tempat tinggal.
Sebagai orang Kristen, kita seharusnya punya kepekaan sosial, kepekaan nurani kristiani untuk berbela rasa dengan mereka yang terpinggirkan, mereka yang termarjinalkan. Kita tidak harus selalu membiarkan banyak perhatian/waktu kita tersita, banyak energi kita tersedot hanya untuk mengurusi perkara-perkara/’orang-orang besar’ baik bersifat internal maupun eksternal gereja.
Di tengah pengharapan dan penantian kita untuk kedatangan Yesus pada kedua kalinya, kita dituntut untuk peka melihat kehadiran Kristus yang kadang-kadang menjelma dalam diri sesama kita tertindas/terpinggirkan, yang bisa saja mereka bukan/belum menjadi Kristen. Pengharapan kita akan kedatangan Kristus adalah pengharapan sejati yang memungkinkan kita tetap menjadi Kristen sampai hari ini kendatipun kita tahu bahwa gereja dibakar di mana-mana, banyak orang Kristen yang terbunuh, bahkan kita sering dihina, diejek, dikucilkan dan sebagainya. Kita berharap dan menanti saat itu tiba namun dalam masa penantian ini kita tak boleh melalaikan tugas/tanggung jawab dan panggilan kita sebagai kaum tertebus. Kita mesti terus mengasah kepekaan sosial dan kepekaan nurani kristiani kita dalam berbagai interaksi sosial di manapun Tuhan menempatkan kita.
Kita diharapkan agar tak mudah terperangkap dalam jerat rutinisme religius yang dapat mengerdilkan bahkanmematikan kerohanian kita sekaligus munumpulkan ketajaman nurani kristiani kita. Biarlah di tengah rangkain aktivitas gerejawi yang kita lakukan, kita tetap punya kepekaan sosial untuk berbagi dengan setiap mereka yang membutuhkan uluran tangan kita secara khusus bagi kaum proletar yang terpinggirkan. Biarlah pula di tengah kondisi ketidakberpihakan negara pada kaum terpinggirkan itu, kita tetap menunjukkan keberpihakan kita, empati kita pada mereka. Bukankah hal itu yang dilakukan oleh Yesus semasa hidup dan pelayanan-Nya? Bukankah itu pula yang diharapkan oleh Yesus dari masing-masing kita melalui Iniil Matius 25:31-46 ini?

ETIKA PROTESTAN DAN SEMANGAT KAPITALISME

Max Weber

Max Weber dalam bukunya yang terkenal menyimpulkan peran yang dimainkan oleh agama Kristen, terutama etika yang menjiwai beberapa sekte Protestan tertentu, dalam perkembangan kapitalisme modern. Dengan meyakinkan Weber berpendapat bahwa peradaban Barat dengan ilmu pengetahuan yang rasional, sistematis dan spesialis telah membawa perkembangan dan kemajuan mencolok di bidang ilmu pengetahuan, kesenian, arsitektur, politik, organisasi dan ekonomi, termasuk kapitalisme dibanding peradaban lainnya di muka bumi ini1. Keinginan-keinginan untuk mendapatkan keuntungan, pencarian hasil, uang dan jumlah harta benda yang memungkinkan untuk diperoleh, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kapitalisme karena keinginan semacam itu ada diantara semua orang dengan berbagai profesinya. Kapitalisme menurut Weber bukanlah sikap rakus yang tidak terbatas dalam mengejar keuntungan.
Kapitalisme identik dengan pencarian keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat diperbaharui untuk selamanya, dengan usaha-usaha kapitalistis secara keseluruhan, dengan usaha-usaha yang rasional dan yang dilakukan secara terus menerus. Demikian seharusnya bahwa dalam suatu tatatanan masyarakat kapitalistis secara keseluruhan, suatu usaha individual yang tidak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambil keuntungan pasti akan mengalami malapetaka, yaitu kehancuran. Suatu tindakan ekonomi kapitalistis dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada harapan-harapan untuk memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan Segala kesempatan untuk transaksi, yaitu pada kesempatan untuk memperoleh keuntungan secara damai. Di mana saja perolehan kapitalistis dicari secara rasional, maka tindakan yang menyertainya disesuaikan dengan perhitungan dalam hal kapital. Artinya bahwa tindakan ini diadaptasi ke dalam suatu penggunaan sistematis terhadap barang-barang ataupun (pelayanan-pelayanan personal) sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan dengan suatu cara tertentu sehingga pada penutupan suatu periode bisnis, keseimbangan perusahaan dalam hal aset uang dapat melebihi kapitalnya. Kapitalisme rasional modern berkembang karena melakukan: pemisahan secara legal milik perusahaan (korporasi) dari milik pribadi dan tata buku rasional.
Kapitalisme rasional modern di Barat telah menggunakan teknik-teknik dalam ilmu pengetahuan ilmiah yang dipraktikan dalam aplikasi perekonomian. Selain itu, struktur rasional hukum serta administrasi dalam kehidupan sosial masyarakat Barat menjadi faktor penting berkembangnya kapitalisme rasional modern. Dapat dikatakan semangat kehidupan ekonomi modern di Barat memiliki korelasi dengan etika-etika rasional dari Protestantisme asketis .
Penelitian menyimpulkan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal maupun para karyawan perusahaan yang mempunyai kemampuan (skill) tinggi ataupun para staf terdidik, baik secara teknis maupun komersial ternyata kebanyakan adalah orang Protestan yang merupakan pengaruh Reformasi yang membebaskan individu dari kontrol Gereja yang ketat dengan regulasi yang membebani.
Pilihan kerja dan karier profesional di bidang bisnis modern dari orang-orang Protestan dipengaruhi kuat oleh lingkungan keagamaan dari masyarakat dan keluarga. Dalam hal ini persentase lulusan orang Katolik dari institusi yang secara khusus menyiapkan diri untuk belajar teknik dan pekerjaan komersial dan industri termasuk kehidupan bisnis kelas menengah jumlahnya masih jauh lebih sedikit dari pada jumlah persentase
orang-orang Protestan. Terdapat perbedaan yang tajam antara orang Protestan dan Katolik di bidang ekonomi seperti ungkapan bahwa orang Protestan lebih suka makan enak dan orang Katolik lebih suka tidur tanpa terusik. Dapat dikatakan bahwa penyebaran ajaran Calvin seperti di Perancis dan Belanda, telah menjadi tempat persemaian ekonomi kapitalistis dimana kehidupan bisnis dikendalikan oleh hidup kesucian (pietisme) .
Semangat kapitalisme modern bercirikan sikap moral jujur, ketepatan waktu, sikap rajin dan hemat yang semuanya dilatarbelakangi pengalaman keagamaan. Akibatnya, pencarian uang dalam tatanan ekonomi modern sejauh hal itu dilakukan dengan cara-cara legal, akan merupakan hasil dan ekspresi dari kebajikan dan kecakapan dalam panggilan tugas. Tipe ideal wirausahawan kapitalistis cenderung asketis yang menghindari pameran dan pengeluaran yang tidak perlu, maupun kenikmatan yang disadari dari kekuasaannya dan malu dengan tanda-tanda luar dari pengakuan sosial yang diterimanya. Semangat kapitalisme dicirikan dengan usaha pencarian lebih banyak uang dan uang, digabungkan dengan penolakan keras terhadap kenikmatan hidup yang semuanya didasarkan pada ide-ide keagamaan sebagaimana kutipan Amsal 22:29, “Lihatlah manusia yang tekun dalam pekerjaannya? Dia akan berdiri di hadapan raja-raja.” Weber mengatakan dengan mengutip penelitian Sombart bahwa kapitalisme pada awal munculnya membedakan antara dengan sebagai dua prinsip paling utama dalam sejarah perekonomian.
Dalam kasus pertama, hasil karya barang-barang perlu untuk memenuhi kebutuhan personal. Sedangkan kasus kedua, suatu perjuangan untuk memperoleh keuntungan yang bebas dari batasan-batasan yang ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan telah menjadi tujuan yang mengontrol bentuk dan arah dari kegiatan ekonomi. Kasus yang pertama identik dengan tradisionalisme ekonomi dan yang kedua menunjuk kepada kapitalisme ekonomi .
Mereka yang disebut pengusaha modern dalam sistem kapitalisme adalah orang-orang yang tumbuh dari sekolah yang keras dalam kehidupan, berperhitungan dan berani pada waktu yang sama, tenang dan dapat dipercaya, lihai dan penuh pengabdian pada bisnis mereka dengan menggunakan opini dan prinsip borjuis yang keras. Mereka yang dipenuhi semangat kapitalisme ini cenderung untuk tak peduli dengan Gereja dan agama hanya sebagai alat untuk menarik mereka keluar dari kerja di dunia ini sebab kecenderungan yang tidak puas dengan apa yang dimiliki.
Bisnis dengan irama kerja yang tiada henti menurut mereka, telah menjadi bagian penting dan satu-satunya motivasi dalam hidup yang mendatangkan kebahagiaan irasional sebab sebaliknya . Weber berpendapat bahwa bekerja bukanlah semata-mata demi manusia hidup demi bisnis dan bukan memperoleh uang untuk menunjang kehidupan tetapi merupakan suatu “panggilan”. Konsepsi panggilan (Jerman atau, Inggris) merupakan konsepsi keagamaan, yang berarti suatu tugas yang dikehendaki Tuhan. Penilaian atau penafsiran mengenai pemenuhan tugas dalam duniawi sebagai bentuk paling tinggi yang dapat diasumsikan oleh aktivitas-aktivitas moral dari individu. Konsepsi panggilan lantas menghasilkan suatu dogma sentral dari seluruh kelompok umat Protestan. Berbeda dengan Protestan, Katolik menyatakan bahwa satu satunya jalan hidup yang dapat diterima Tuhan adalah dengan melampaui moralitas duniawi dalam asketisme monastis, tetapi semata-mata melalui pemenuhan kewajiban atau tugas yang diberikan kepada setiap pribadi manusia dengan tingkat kedudukannya masing-masing di dunia. menurut Luther adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu peraturan keilahian, peraturan yang harus dipatuhi manusia dimana kerja merupakan suatu tugas yang digariskan Tuhan.
Semangat kapitalisme sebenarnya bukanlah tujuan utama para reformator Gereja, melainkan keselamatan jiwa manusia. Para reformator bukanlah para pendiri masyarakat untuk budaya etika dan bukan pendukung proyek-proyek kemanusiaan untuk reformasi sosial ataupun cita-cita kebudayaan. Cita-cita etika dan hasil-hasil praktis doktrin mereka semuanya didasarkan kepada keselamatan jiwa dan merupakan konsekuensi dari adanya motif keagamaan yang murni semata. Dapat disimpulkan bahwa capitalism hanya bisa tumbuh sebagai hasil dari pengaruh-pengaruh tertentu dari Reformasi atau bahkan kapitalisme sebagai suatu sistem perekonomian merupakan suatu kreasi atau ciptaan dari Reformasi.
Weber membedakan empat aliran utama Protestantisme asketik: Calvinisme, Pietisme, Metodisme dan Baptisme. Weber memusatkan analisisnya atas Etika Protestan pada Calvinisme. Terdapat tiga kepercayaan utama dalam Calvinisme.
1. Doktrin bahwa alam semesta diciptakan untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungan Tuhan. Tuhan tidak hidup atau ada bagi manusia, tetapi manusialah yang hidup atau ada demi Tuhan Tuhan.
2. Doktrin bahwa manusia tidak sepenuhnya memahami kehendak Tuhan. Manusia hanya dapat berpegang kepada serpihan-serpihan dari kehendakNya.
3. Doktrin bahwa hanya sedikit orang yang dipilih untuk mendapatkan rahmat abadi . Doktrin ini mendorong orang Calvinis untuk membuktikan pentingnya iman dalam aktivitas duniawinya . Jelas bekerja menjadi tugas suci. Orang-orang Calvinis menilai bahwa membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan secara prinsip dosa yang paling mematikan.
Kehilangan waktu melalui sosialitas, pembicaraan tidak menentu, kemewahan bahkan tidur terlalu banyak dari yang semestinya bagi kesehatan merupakan kesalahankesalahan moral yangh absolut, karena waktu adalah uang. Satu jam yang terbuang percuma berarti terbuang kesempatan untuk bekerja demi memuliakan Tuhan.
Bekerja tidak hanya bernilai secara moral di hadapan Tuhan dan pentingnya produk yang dihasilkan bagi masyarakat, tetapi juga keuntungan usaha yang diperoleh seseorang. Keuntungan usaha tidak boleh ditolak sebab merupakan pemberian Tuhan yang harus dilipatgandakan sejauh tidak bertentangan dengan hati nurani dan hukum yang berlaku. Menolak keuntungan berarti menolak menjadi pelayan Tuhan dan telah pula menolak anugerahNya dan untuk memanfaatkannya bagi Tuhan ketika Tuhan menghendakiNya.
Seseorang dapat bekerja untuk menjadi kaya bagi Tuhan walaupun bukan untuk daging dan dosa. Karenanya berharap menjadi miskin sangat tidak dibenarkan dan merupakan suatu penghinaan terhadap kemuliaan Tuhan . Rasul Paulus dalam 2 Tesalonika 3:10 berkata, berlaku untuk semua manusia. Karena itu ketidakmauan untuk bekerja dapat mengakibatkan gejala berkurangnya kemungkinan memperoleh rahmat. Bekerja sebagai panggilan demi kemuliaan Tuhan harus dilakukan oleh siapapun sebagai ketaatan kepada perintah Tuhan sehingga orang-orang kaya tidak boleh makan tanpa bekerja walaupun karena kekayaannya mereka tidak perlu bekerja, demikian juga dengan orang miskin .
Doktrin bekerja sebagai panggilan ini menjadikan seorang buruh yang setia dalam bekerja ternyata sangat membahagiakan Tuhan sekalipun diberi upah yang rendah. Sebaliknya hal ini berarti ilahi Membenarkan tindakan eksploitasi buruh oleh majikannya yang juga menmahami aktivitas bisnisnya sebagai suatu panggilan.
Perkembangan selanjutnya menurut Weber, menunjukkan bahwa pencarian kekayaan cenderung murni bersifat duniawi dan terlepas dari makna etis dan keagamaan . Saya setuju dan sependapat dengan Weber bahwa etika protestan turut memberi kontribusi positif dalam perkembangan kapitalisme rasional. Tidak hanya di Barat, kemungkinan adanya hubungan antara ajaran-ajaran agama dengan tingkah laku ekonomi juga berlaku di Indonesia. Contohnya, bagaimana penyebaran Islam dilakukan melalui jalur-jalur perdagangan dan berkembang pertama-tama di antara saudagar-saudagar kota. Dalam sistem kapitalis, wiraswasta individual memperoleh kebebasan mendapatkan kekayaan pribadi. sehingga . Hak milik pribadi merupakan bukti keberhasilan sistem kapitalis. Kekuatan pasar menentukan harga dan upah serta produk mana saja yang akan diproduksi.
Dalam hal ini keserakahan dalam sistem kapitalis menurut Adam Smith adalah hukum alam dan harus menjadi tenaga penggerak yang memberdayakan ekonomi bangsa-bangsa, namun bahayanya bahwa keserakahan tanpa sopan santun etis akan menjadi bencana. Smith berbeda dengan Weber, berbicara tentang tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) yang berfungsi dalam alam . Sistem kapitalis benar telah menghasilkan kekayaan luar biasa dalam dusun global dan sekaligus juga menciptakan bencana kekuatan pasar, yang sesuai hukum ekologis.
Kekuatan pasar tidak dapat mengontrol pemerkosaan atas laut dan tanah oleh orang-orang yang serakah. Juga terbukti bahwa bahwa tangan yang tidak kelihatan itu tidak bekerja dengan baik dalam menghadirkan berkat bagi dusun global secara keseluruhan. Tangan ini dalam banyak hal telah menjadi tangan yang mengambil dari orang miskin dan memberi kepada orang kaya . Smith menurut saya sama sekali tidak melihat urgensi dan mengabaikan nilai-nilai etika keagamaan dalam pengembangan kapitalisme di tangan para pengusaha. Tepat perkatakan Gerhard Lenski, seperti dikutip Lance Castles bahwa, kapitalisme dalam sistem ekonomi Barat berubah total karena terlepas dari sifat asli etika protestan yaitu konsep panggilan dan asketisme .
Kapitalisme Barat mendapat kritik tajam dari Karl Marx dan rekannya Friedrich Engels sebab saat itu masyarakat Kristen Eropa secara keseluruhan sangat tidak sensitif akan eksploitasi terhadap kelas pekerja yang miskin. Marx dan Engels geram karena terlalu banyak orang Kristen yang berkuasa memakai agama untuk mengukuhkan dan membenarkan keistimewaan dan kekayaan mereka. Marx dan Engels yakin bahwa sebuah sistem keagamaan yang menjanjikan surga setelah kematian untuk membenarkan kurangnya keprihatinan terhadap anak-anak miskin yang bekerja selama berjam-jam dalam pabrik-pabrik berbahaya adalah jahat dan kejam.
Perjalanan menuju ateisme bagi Marx dan Engels merupakan reaksi melawan percakapan tentang Allah dan agama yang tidak memiliki keprihatinan terhadap kaum miskin . Marxisme skeptis terhadap demokrasi karena kelas-kelas kaya berpengaruh membelokkan proses-proses demokratis. Jalan keluarnya yang ditawarkan adalah revolusi yang dapat menghadirkan masyarakat tanpa kelas dan keadilan. Setelah revolusi, kaum proletar (para buruh) harus membangun kediktatoran dan kepemilikan harus diredistribusi secara merata yang pada akhirnya membuat agama menjadi layu dan tidak berfungsi .
Cara
Marxisme ini bukan solusi yang tepat, sebab komunisme telah bangkrut. Dalam hal ini saya tidak dapat menerima mekanisme ekonomi penimbunan uang dari kapitalisme . Logika penimbunan uang yang tak kenal henti mengakibatkan semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin dan pada akhirnya memicu demonstrasi anarkis yang bermuara kepada revolusi. Karena itu penetapan upah adil bagi buruh atau tenaga kerja perlu diperhatikan oleh pengusaha dan mendapat pengawasan dari pemerintah sebagai regulator perundang-undangan. Pemerintah pada waktunya mengambil tanggungjawabnya sehingga terjadi iklim sehat dalam dunia usaha dan sekaligus menjamin kesejahteraan buruh dalam mengerakkan roda perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat. Penting bagi Gereja untuk tetap setia dalam tugasnya menolong mereka yang menderita dan miskin akibat ketidakadilan sistem kapitalisme dan mengadakan dialog terhadap perusahaan dan pemerintah mencari solusi yang bermartabat


Tulisan ini di ambil dari http://forumteologi.com/

PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR - Oleh Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D.

LAPORAN BUKU Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR Suatu studi mengenai Gereja Masehi Injili di Timor dal...