Selasa, 24 Agustus 2010

MEJA PERJAMUAN TUHAN atau MEJA GEREJA ?

Suatu Tinjauan Etis Teologis Ibadah Perjamuan Kudus Dewasa ini
Karya: Josep P. Matondang

I.Pendahuluan
Selama 12 tahun penulis melayani sebagai pendeta, pelayanan Perjamuan Kudus termasuk salah satu pelayanan yang saya anggap sebagai sesuatu yang amat sakral dan penuh dengan misteri. Alasannya bahwa pelayanan ini dianggap sebagai suatu privatisasi pendeta dibanding dengan pelayan-pelayan lain di gereja. Umumnya gereja-gereja sekarang ini memahami bahwa yang boleh melayankan Perjamuan Kudus adalah yang telah menerima tahbisan pendeta atau pastor.
Di dalam buku Konfessi GKPA jelas disebutkan bahwa yang boleh melayani sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah pendeta . Jabatan-jabatan lain seperti Guru Jemaat dan para penatua tidak diperbolehkan untuk menjalankan tugas ini.
Bagi penulis sendiri sebenarnya alasan-alasan privatisasi ini tidaklah begitu jelas, hanya mengikuti warisan gereja yang sudah ada. Setelah mengikuti diskusi tentang topik ini, penulis tergugah untuk mengkaji lebih jauh tentang nilai-nilai etis yang terkandung dalam perjamuan sebagaimana mandat yang telah diberikan Yesus kepada murid-muridNya “perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku” (Lukas 22:19).
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji lebih jauh Perjamuan berdasarkan perspektif Alkitab, implementasi dan pergeseran Perjamuan, warisan perjamuan masa kini, nilai-nilai etis perjamuan, dan penutup. Penulis berharap akan menemukan nilai-nilai etis yang mendekati kebenaran atau manfaat perjamuan dalam pertumbuhan iman jemaat, serta dapat mendekati jawaban yang tepat atas sifat judul tulisan ini : Meja Perjamuan Tuhan atau Meja Gereja?

II. Latar Belakang Alkitab
Yesus melakukan Perjamuan pada malam paskah Yahudi, yang merupakan perayaan nasional, suatu perayaan kemerdekaan, pembebasan orang Israel dari perbudakan di Mesir. Yesus memberikan sesuatu yang baru, yang lebih dalam dan makna yang lebih universal tentang peristiwa tersebut .
Tissa Balasuriya melihat bahwa peristiwa Paskah memiliki konteks perjanjian dan pembebasan. Allah memanggil Musa untuk memimpin umatNya dari perbudakan, peristiwa ini bukanlah sebatas pelayanan masyarakat (social service), melainkan lebih pada pembebasan dari eksploitasi yang amat buruk dimana terjadi perbudakan yang turun temurun dan pembunuhan anak-anak. Dalam Keluaran 3 : 7 dikatakan : “ Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umatKu di Mesir dan Aku telah mendengar seruan mereka, yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku telah mengetahui penderitaan mereka”.
Perbuatan Allah di sini adalah suatu tindakan politik yang membebaskan. Peristiwa penyembelihan anak domba, dimana darahnya dioleskan di atas pintu dan dagingnya dimakan oleh anggota keluarga sebagai pertanda bahwa Allah akan melewati rumah yang ditandai untuk bebas dari kematian anak sulung adalah awal penggunaan kata paskah, yang berarti berlalu atau lewat.
Situasi peristiwa ini menandakan tujuan Allah yang lebih besar untuk pembebasan karena mereka tidak akan mampu untuk membebaskan diri mereka sendiri melalui perbuatan baik, doa-doa dan persuasi yang lain, tapi Allah bertindak. Tindakan Allah ini menjadi suatu gerak bersama yang memunculkan partisipasi umat menyambut karya Allah dengan penyembelihan anak domba sebagaimana dikatakan oleh Balasuriya bahwa umat Israel harus berpartisipasi untuk usaha pembebasan Allah ini . Melalui uraian singkat peristiwa Keluaran ini, dapat direfleksikan bahwa yang sangat penting adalah inti peristiwa sejarah Israel dalam Perjanjian Lama telah merupakan suatu peristiwa politik, dalam konsep Perjamuan Paskah sangat erat hubungannya dengan umat Israel untuk pembebasan dari eksploitasi perbudakan dan pembunuhan.
Sejarah Israel menunjukkan di kemudian hari melalui suara-suara nabi diperlihatkan bahwa ritual Paskah kehilangan makna yang sesungguhnya.
Dalam Yesaya 58:7-8 dikatakan : “supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.
Yesaya menunjukkan nilai-nilai etis yang dihilangkan oleh umat Israel dalam acara pemecahan roti yang sebenarnya tidak hanya sebatas ritual, tapi lebih jauh adalah suatu kepedulian sosial, tindakan pembebasan perbudakan dan ‘shelter’. Demikian juga suara dari nabi Amos yang mengatakan
“ Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu……. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.
Disini Amos menekankan bahwa perayaan dan ibadah Israel kehilangan maknanya ketika umat itu melupakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dari kehidupan sehari-hari. Boleh saja umat itu berkembang secara ekonomi dengan baik, sejahtera dan utuh di tanah Kanaan, namun ketika melupakan masalah-masalah keadilan dan kebenaran, maka Allah menunjukkan ketidakpuasanNya terhadap ibadah umat Israel. Nilai-nilai kebersamaan sebagai umat pilihan Allah adalah realitas penekanan pokok dalam kehidupan religiusitasnya.
Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa istilah yang dipakai untuk sebutan Perjamuan ini, yang umum dipakai adalah “Perjamuan Kudus” (Holy Communion), suatu istilah yang diangkat dari Paulus dalam I Korintus 10:16. Di sini lebih ditekankan artinya kepada partisipasi dan berbagi rasa. Dari istilah ini akan memberi lebih jelas makna kepada koinonia. Istilah yang kedua adalah Perjamuan Malam Tuhan (Lord’s Supper), yang menggambarkan makanan biasa gereja (Church common meal) sebagaimana tertulis dalam I Korintus 10:21. Istilah yang ketiga adalah pemecahan roti (breaking of bread) yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 2:24, istilah ini erat hubungannya dengan Jamuan Malam Tuhan. Istilah yang keempat adalah Eukaristi, yang berarti ucapan syukur (thanksgiving), yang didasarkan ucapan syukur pada Perjamuan malam Tuhan . Dari istilah-istlah yang dipakai untuk menunjukkan Perjamuan memberi suatu gambaran umum bahwa perjamuan itu bersifat komunal di antara orang-orang yang percaya kepada Yesus untuk bisa saling berbagi (sharing).
Untuk mengetahui makna Perjamuan dalam Perjanjian Baru, peranan Yesus sebagai Juruselamat di dalam masyarakat pada saat itu sangat penting, sebagaimana pendapat Balasuriya bahwa Yesus memberikan suatu makna baru dan relevansi yang lebih luas dari perayaan paskah umat Yahudi, namun Yesus memakai makna simbolik dan perayaannya . Yesus menawarkan roti dan anggur sebagai makanan dan minuman adalah juga sebagai simbol kesatuan (unity) dari semua peserta perjamuan itu sendiri, termasuk di dalamnya salah seorang yang mengkhianati Yesus. Dalam hal ini Yesus tidak memberikan satu kriteria layak atau tidak layak untuk mengikuti Perjamuan malam, sebagaimana diperlihatkan bahwa salah seorang yang mengkhianatiNya sendiri mendapat tempat dalam perjamuan.
Lebih lanjut Balasuriya melihat ada beberapa aspek dalam perjamuan tersebut yaitu : yang pertama adalah makanan (meal), perayaan paskah Yahudi, suatu perayaan atas panggilan kembali Allah atas pembebasan. Yang kedua, kehadiran Yesus dalam perjamuan sebagaimana dikatakanNya “Inilah tubuhKu”. Aspek kehadiran Yesus dalam perjamuan adalah undangan untuk merespons persembahan diriNya dan komitmenNya dalam hubungan sosial, dan aspek yang ketika yang berhubungan dengan undangan Yesus adalah peringatan akan penderitaan dan kematianNya dan aspek yang keempat adalah pembaharuan perjanjian “inilah darah perjanjianKu, yang dicurahkan bagi banyak orang” (Mrk 14:24). Dari keempat aspek ini, pemikiran dari Yesus bahwa Perjamuan secara esensial berorientasi pada aksi (action-oriented).
Peranan doa dalam perjamuan memilki hubungan yang erat dengan misi Yesus. Yesus menginginkan agar para muridNya berdoa dengan jujur, rendah hati, serius dan berhubungan dengan kehidupan nyata, dan sifat doa seperti ini lebih penting daripada formulasi kekekalan, ritus-ritus dan kesepakatan. Yesus menentang doa yang munafik, kecendrungan penekanan pada kata-kata tanpa maksud yang serius.
Dalam perjamuan, Yesus berdoa, suatu doa yang diucapkan atas makanan dalam kebersamaan dengan para rasul. Konteks perjamuan ini adalah perayaan Yahudi dimana setiap keluarga seharusnya merayakannya. Tidak ada pakaian keimaman dan hal-hal yang rahasia. Tapi di dalamnya ada penegasan komitmen akan cinta kasih, pelayanan dan persekutuan (fellowship).
Paulus menekankan bahwa Perjamuan menjadi suatu ‘sharing’ yang nyata dimana komunitas adala satu kesatuan yang membentuk satu tubuh sebagaimana dikatakan dalam 1 Korintus 10:16-17: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”
Sejauh ini Paulus menekankan bahwa Perjamuan adalah menuntun kepada kasih yang lebih agung, kesatuan dan persekutuan di antara pribadi-pribadi dan kelompok. Balasuriya memberi dua sudut dimensi Perjamuan dalam pikiran Paulus yaitu dimensi kasih yang bersifat pribadi dan dimensi aksi sosial. . Perjamuan ini akan kehilangan maknanya kalau tidak menekankan kesederajatan dan pembangunan komunitas yang nyata.
Dari praktek Perjamuan baik yang dilakukan oleh Yesus maupun gereja mula-mula dapat dilihat bagaimana kedekatan antara Yesus dengan murid-muridnya, demikian juga antara Rasul dengan semua anggota jemaat. Hal ini memberikan gambaran akan kehangatan dan keterbukaan antara yang satu dengan yang lain dalam sharing karena pemahaman yang telah dibangun dalam komunitas adalah kesederajatan dan partisipasi bersama (egalitarian).

III. Perubahan dalam sejarah praktek Perjamuan.
Uraian di atas menggambarkan pelaksanaan Perjamuan Yesus yang menekankan pada peristiwa pembebasan Allah dari perbudakan, dimana partisipasi umat Tuhan mutlak diperlukan, dilaksanakan secara kekeluargaan dan kehangatan. Di kemudian hari perjamuan adalah simbol kemenangan, yang dirayakan di altar-altar yang tinggi. Memang perjamuan nampaknya tetap menjadi inti (core) ibadah kekristenan, tetapi mengalami perubahan yang diatur maknanya dan kebutuhannya menurut kelompok yang dominan. Dengan kata lain Perjamuan itu mengalami evakuasi, pergantian dan distorsi, sehingga bukan lagi keheranan kalau perjamuan itu melayani kemauan dari elit yang berkuasa . Perubahan dan distorsi yang paling radikal terjadi pada zaman Christendom, dimana gereja untuk pertama kali mendominasi kekuasaan Negara. Perjamuan dilaksanakan dalam suatu perubahan jumlah yang sangat besar sehingga ada perubahan dari yang bersifat komunal-partisipatif serta kehangatan kepada perjamuan yang sangat formal, sederhana dan individual . Demikian juga sebagaimana diuraikan oleh Balasuriya bahwa pada tahun 1100 suatu perubahan drastis terjadi dimana gereja memegang peranan penting dalam sejarah Eropa. Pada zaman ini perubahan terdapat dalam beberapa aspek, antara lain,
1. Yang memegang peranan penting dalam perjamuan adalah para imam (priest), doa-doa dilayankan dalam bahasa yang asing yaitu Latin, dimana kebanyakan orang tidak mengerti apa yang diucapkan oleh para imam. Imam mengucapkan doa dari altar dengan pelan (silent) dan terpisah dari umat. Imam menjadi pribadi yang kudus sebagai pengantara orang-orang berdosa, yang tidak layak kepada Allah yang Maha kuasa, sendirian di altar. Umat secara umum tidak bisa berpartsisipasi dalam tindakan perjamuan kudus, jadi tidak ada lagi sharing tentang kehidupan nyata sehari-hari umat.
2. Liturgi dan tradisi gereja pada waktu itu tergantung sepenuhnya kepada para imam sebagai pelayan gereja, yang dianggap dapat menghadirkan Kristus dalam ibadah, sehingga kaum awam tidak bisa menjadi pelayan dalam perjamuan. Ritus ordinasi dari imam sangat ditekankan dalam bentuk peribadatan. Perempuan dianggap tidak layak karena jenis seks yang mereka miliki untuk menjadi pelayan dalam perjamuan.
3. Perjamuan yang sebelumnya menampakkan sharing berganti menjadi penyembahan (adoration). Rasa takut akan Allah lebih kuat ditekankan daripada rasa cinta kasih kemitraan. Umat semakin jarang menerima perjamuan karena merasa tidak layak atas kebesaran Allah, dan gereja juga semakin mengurangi jumlah pelaksanaan perjamuan sehingga banyak yang tidak pernah ikut perayaan perjamuan lagi. Hanya orang-orang yang ditahbiskan yang dapat menjamah perjamuan.
Situasi semacam itu berdampak pada pendekatan individu agama dan perjamuan. Pergeseran semakin jelas kelihatan dari kehangatan dan kekeluargaan kepada bentuk yang resmi dan kriteria yang ketat serta menciptakan jarak yang besar antara pejabat gereja dan umat itu sendiri.
Teori yang berlaku dalam gereja Katolik pada saat itu, yang mengatakan ‘ex opera operato’ menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap privatisasi dan jabatan khusus dari perjamuan itu.
Protes terhadap konsep pelaksanaan Perjamuan seperti ini semakin melekat dengan gereja, sehingga ada usaha untuk mengembalikan kepada partisipasi kaum awam, telah dilakukan oleh Martin Luther sebagai bentuk reformasi, dia berbicara tentang keimaman kaum awam. Reaksi ini mengakibatkan perbedaan yang sangat besar dalam gereja Katolik pada saat itu. Namun akibatnya adalah suatu pertahanan dibangun kembali di kalangan gereja Katolik dengan penegasan Paus Alexander VII tahun 1661.
Penulis tidak bermaksud menguraikan sejarah yang lebih lengkap tentang Perjamuan ini, hanya sekedar menunjukkan bagaimana perubahan dan distorsi yang nyata dalam pelaksanaan perjamuan di tengah-tengah gereja dan pergeseran makna etis sosial. Kalaupun terjadi reformasi pada zaman Luther, namun fakta sekarang ini masih memperlihatkan adanya jarak yang besar antara Pemimpin ibadah dengan komunitas jemaat. Kritik yang lebih tajam dikemukakan oleh C.S.Song terhadap Perjamuan bahwa menurut dia gereja-gereja Ortodoks, Katolik Roma dan Protestan, masing-masing gereja membentengi meja perjamuannya dengan hukum-hukum kanon, teologi tentang perjamuan dan tembok-tembok gerejawi untuk menjaga kemurnian dan kesuciannya, sehingga Song berpendapat bahwa meja perjamuan seperti itu bukanlah meja perjamuan Tuhan, melainkan hanya meja perjamuan gereja saja.
Kritik Song menurut penulis memang terlalu tajam, seolah-olah tidak menyisakan hal-hal positif yang dilakukan gereja-gereja atas perjamuan, yang lebih tepat menurut penulis adalah gereja telah mereduksi inti perjamuan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan masih adanya keterkaitan antara perjamuan yang dilakukan gereja saat ini dengan apa yang dilakukan oleh Yesus, yaitu sedikit-dikitnya gereja masih melakuakn perjamuan sebagai peringatan akan penderitaan Yesus dan karya agung Yesus dalam penebusan. Namun penulis sangat menghargai kritik ini dan mendorong untuk menemukan makna inti dari perjamuan tersebut.

IV. Perjamuan sebagai salah satu sumber etika sosial.
Kebanyakan orang Kristen memandang bahwa sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) adalah tanda anugrah dan kehadiran Allah, yang didalamnya terkandung realitas spiritual. Roti dan anggur menitikberatkan kekayaan hidup yang dinyatakan oleh Injil . Dari kajian pada bagian sebelumnya bahwa perjamuan memiliki dimensi penting sebagai sumber etika Kristen dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai komunitas gereja maupun komunitas masyarakat. Bonhoeffer menegaskan bahwa sifat kehadiran Kristus dalam sakramen, menuntun sifat umat dalam keberadaannya menjadi anggota komunitas gereja dan juga dalam masyarakat. Roti dan anggur dalam gereja kuno adalah makanan sukacita dalam komunitas (gemeinschaft) dari persaudaraan yang saling mengasihi, yang saling membangun kehadiran Tuhan sorgawi. Dalam kaitan sakramen ini ada dua sifat realitas komunitas yang perlu diketahui yaitu Sanctorum Communio dan Peccator communion yang berarti komunitas yang dibenarkan dan komunitas yang berdosa. Kedua sifat ini terkandung dalam perjamuan dimana Yesus yang membenarkan manusia hadir bersama-sama orang berdosa, dengan demikian penulis memahami bahwa perjamuan itu adalah pertemuan orang-orang berdosa, dimana Yesus berkenan hadir untuk memberikan pembenaran. Senada dengan ini C.S.Song mengatakan bahwa sakramen yang dialami oleh Yesus adalah bersama dengan orang-orang berdosa, di dalam konteks meja perjamuan Yesus bersama orang-orang berdosa yang mengantarkan pada perjamuan terakhir, pada zaman menjelang penyalibannya, meja Tuhan harus dipahami dan dimiliki bersama. Di sini Yesus menerima semua orang tanpa terkecuali pada meja sakramentalNya. Dengan melihat praktek Perjamuan gereja-gereja saat ini pertanyaan kritis perlu di kedepankan, perjamuan itu sudah tentu berasal dari warisan historis gereja, tetapi apakah perjamuan saat ini berakar pada perjamuan sebagaimana Yesus sering lakukan dengan orang-orang berdosa dan orang-orang tersingkir?

Komisi Faith and Order dari Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches) telah menyadari pemisahan-pemisahan dunia yang terjadi, yang tergambar dalam perjamuan dan menyuarakan kembali bagaimana seharusnya gereja-gereja melakukan perjamuan, seperti yang dikatakan berikut ini : We live in a world divisions, and we have become too easily accustomed to divisions within the church. The fact that the table of the Lord has been divided remains a great scandal. There are many historical sources of this disunity. Yet today it still remains a process of the greatest difficulty to bring all Christian into one fellowship at one table to eat the one bread and drink the one cup. This is a weakness for our missionary witness and its root must surely lie in our disobedience. If Christ celebrate in full communion with all those who love him and are his forever? We plead with our churches to continue the search for that unity which will reveal the lordship of Christ.

Nilai etis yang terkandung dalam Perjamuan seharusnya menunjukkan kesatuan (unity) bukan keterpisahan dunia dimana gereja masih menunjukkan keterpecahan, dan hal ini sekaligus membawa kesulitan dalam perjamuan Tuhan untuk satu roti dan satu cawan.
Pemahaman tentang roti di sini perlu mendapat perhatian, khususnya bagi orang-orang yang tinggal di daerah tropis, dimana roti hanyalah makanan sekunder. Dalam konteks kehidupan Yesus, roti merupakan makanan pokok (staple food), yang sehari-hari menjadi makanan orang pada saat itu. Dalam kaitan ini roti perjamuan yang diberikan Yesus adalah bagian penting dalam sharing makanan pokok. Kebersamaan komunitas orang-orang percaya memberikan makna etis untuk saling berbagi makanan, sebagai wujud cinta kasih dan kehangatan persaudaraan. Demikian juga minuman anggur (wine) dalam Alkitab sering disuguhkan sebagai minuman sukacita, hal ini misalnya nampak ketika Perjamuan kawin di Kana dimana Maria dan Yesus turut diundang dalam pesta itu (Yohannes 2:1-11). Anggur yang diberikan Yesus dalam perjamuan menunjuk secara praktis akan sukacita yang terdapat dalam komunitas tersebut, saling berbagi sukacita, kalaupun dihubungkan dengan penderitaan, yang membawa kepada penyaliban Yesus, bukankah itu akan memberikan harapan terhadap komunitas yang akan memperoleh sukacita besar. Dengan indah unsur perjamuan seperti itu dalam kaitan dengan misi gereja dijelaskan oleh Arthur C. Cochrane bahwa perjamuan Tuhan adalah sumber, aliran, dan mata air misi gereja ke dalam dunia. Bilamana gereja bergerak ke dalam dunia dalam pelayanan kepada orang-orang miskin, hal itu tidaklah terhenti dalam pengertian makan dan minum dengan Yesus sebab Allah di dalam Yesus bukanlah hanya ada untuk gereja tapi orang-orang kecil sebagaimana tertulis dalam Matius 25:31-46.
Dengan menelusuri makna perjamuan dalam kaitan dengan kepedulian bersama, sharing kebutuhan sehari-hari, memberikan etika sosial bahwa orang-orang yang turut ambil bagian dalam perjamuan memiliki rasa solidaritas sesama, yang dinyatakan untuk saling berbagi makanan dan minuman. Dalam kaitan dengan anggota komunitas sekarang ini bahwa banyak anggota masih berada pada tahap pertanyaan “apa yang kumakan hari ini?” yang berarti sulitnya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sementara di pihak lain banyak anggota komunitas yang berada pada pertanyaan “yang mana yang harus kumakan hari ini? Di sini penekanannya adalah kesulitan untuk memilih karena sudah memiliki makanan yang berlebihan. Dalam hal inilah menurut penulis peranan perjamuan mendorong orang percaya untuk memiliki solidaritas bersama dalam kesenjangan di tengah-tengah komunitas. Sebagaimana dikatakan oleh Forrester bahwa perjamuan memiliki peranan yang sangat penting baik kepada komunitas secara umum maupun secara individu, sebab meja perjamuan Yesus adalah undangan yang terbuka sehingga baik Yahudi dan di luar Yahudi (gentile), kaya dan miskin, lemah dan kuat berkumpul bersama dan mengalami suatu tantangan baru akan kedalaman makna komunitas. Ketika orang miskin terpisah, maka Perjamuan itu bukanlah perjamuan untuk Tuhan (1 Korintus 11:17-20).

V.Kajian korektif atas implementasi Perjamuan dewasa ini.
Topik ini akan membahas bagaimana perjamuan dilaksanakan di gereja dimana penulis melayani selama ini dan bagaimana seharusnya implementasi perjamuan yang benar dan mengandung nilai-nilai etis yang berdasar pada alkitab. Dengan kata lain penulis hendak melakukan kajian korektif terhadap topik ini sejauh pengalaman penulis melakukan perjamuan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam bahasan ini, antara lain :
1. Dalam Konfessi tentang Sakramen Perjamuan Kudus disebutkan bahwa anggota jemaat dalam status penggembalaan (dikenakan siasat gereja) tidak diperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Dengan kata lain orang-orang yang berdosa seperti suami istri yang bercerai, yang berpoligami, berzinah, atau melakukan dosa lainnya tidak layak untuk ikut dalam perjamuan. Kemudian anggota jemaat yang belum sidi juga tidak boleh ikut dalam perjamuan. Dari kriteria ini, ada pengecualian siapa saja yang diperbolehkan untuk mengikuti perjamuan, dan menekankan pada kudusnya perjamuan Tuhan. Di atas telah ditunjukkan bahwa perjamuan itu diberikan untuk semua orang, tidak ada pengecualian. Dalam praktek Perjamuan Yesus, orang-orang berdosa, yang tersingkir, yang menjadi skandal bagi agama resmi, orang miskin, semuanya mendapat tempat di dalam perjamuan, bahkan Yudas Iskariot, yang kemudian mengkhianati Yesus tidak disingkirkan dari meja perjamuan Tuhan. Dan Perjamuan yang dilakukan Yesus adalah undangan yang terbuka kepada siapa saja, sebagai tantangan baru dalam kehidupan komunitas, dan mengarah kepada komitmen egalitarian.
2. Yang boleh melaksanakan (memimpin) ibadah perjamuan adalah pendeta, sementara jabatan-jabatan lain tidak diperbolehkan melaksanakan perjamuan ini. Gereja saat ini cenderung melaksanakan Perjamuan itu sebagai arah komando dari atas ke bawah. Peranan pendeta masih sama dengan warisan pola kepemimpinan yang diciptakan pada zaman Christendom, di mana perjamuan dilaksanakan di altar-altar gereja, dimana imam berdiri sebagai perantara Tuhan dan jemaat tinggal menunggu perintah saja. Pelaksanaan perjamuan semacam ini akan membuat pemisahan dan jarak yang jauh antara jemaat dan pendeta. Dan yang pasti bahwa Perjamuan saat ini tidak menyinggung sedikitpun tentang berbagi hidup dalam komunitas gereja. Penulis telah menunjukkan bahwa perjamuan itu menekankan keegalitarian, di mana semua orang berpartisipasi dalam kebersamaan, sehingga tercipta persaudaraan dan kehangatan. Seharusnya jemaat datang bersama dalam suatu tantangan baru untuk terbuka untuk saling berbagi tentang kehidupan sehari-hari baik pergumulan hidup maupun sukacita sebagaimana tertulis dalam Johannes 6:51 : Akulah Roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.
Yesus sangat menekankan di sini kerelaannya pertama kali untuk berbagi hidup di antara orang yang menerima Dia.
3. Perjamuan saat ini benar-benar menjadi skandalon bagi orang-orang tertentu; orang yang merasa dosanya berat, orang-orang yang sedang konflik karena belum bisa saling mengampuni, orang miskin yang merasa tidak layak karena komunitas yang sangat formal. Situasi ini menjadi terbalik dari praktek yang dilakukan Yesus ketika Dia duduk bersama dengan orang-orang berdosa menjadi batu sandungan bagi pemimpin agama resmi pada saat itu. Perjamuan sakramental semacam itu benar-benar menjadi skandalon bagi para tokoh agama Yahudi. Tetapi kini Ekaristi tampaknya menjadi skandalon bagi orang-orang berdosa di luar persekutuan Ekaristi, mereka yang tidak dapat menghampirinya, Ia telah menjadi skandalon kembali .
4. Liturgi/acara perjamuan saat ini menekankan pada pengampunan dosa dan membawa kepada situasi keheningan (Ulaon na hohom ), dimana anak-anak tidak diperbolehkan masuk karena dapat merusak suasana hening, pintu gereja harus ditutup rapat-rapat dan nyanyian selalu dipilih yang bernuansa sedih, yang dapat mengarahkan orang kepada keheningan. Padahal perjamuan yang dilakukan Yesus memiliki unsur dialog tentang kehidupan nyata, misalnya bagaimana mereka mendiskusikan rencana pengkhianatan Yudas Iskariot, bagaimana gereja mula-mula duduk bersama untuk berbagi makanan, dan bagaimana perjamuan itu sebenarnya mengekspresikan sukacita yang besar. Penekanan utama dari perjamuan itu adalah kebersamaan, bukan ibadah pemberian mandat untuk menghapus dosa.

VI. Penutup
Setelah melakukan usaha kajian ini, penulis merasakan bahwa perjamuan kudus yang dirayakan gereja saat ini telah mengalami suatu pergeseran nilai dan prakteknya dari apa yang dilakukan oleh Yesus dan gereja mula-mula. Pergeseran itu telah dibuktikan dalam kajian ini seperti : penekanan komunitas kepada privatisasi, kehangatan persaudaraan Tuhan kepada keheningan, penekanan egalitarian kepada pemisahan imam - kaum awam, orang berdosa - tidak berdosa, layak - tidak layak, dsb.
Untuk itu penulis melihat bahwa praktek perjamuan saat ini haruslah dibicarakan kembali di tengah-tengah komunitas gereja, di antara anggota jemaat maupun para pelayan gereja, sehingga mengandung makna perjamuan untuk pertumbuhan jemaat Tuhan secara benar atau sedikitnya tidak lagi mendengar kritik yang tajam seperti kritik yang dilakukan oleh C.S.Song yang mengatakan : “Meja perjamuan itu, yang dengan galak dan penuh dengan cemburu dijagai, padahal mungkin ternyata sama sekali bukanlah meja Tuhan, melainkan sekadar meja Gereja sendiri.“
Seharusnya perjamuan itu adalah suatu komunitas yang tumbuh bersama, berbagi bersama dan bertindak bersama, dimana Yesus hadir di dalamnya.

Tulisan ini di ambil dari http://forumteologi.com/

Jumat, 06 Agustus 2010

KEPEKAAN SOSIAL DI TENGAH PENGHARAPAN SEJATI

(Tafsiran dan Refleksi Teologis terhadap Matius 25:31-46)


1. Konteks
Matius mengalamatkan tulisannya kepada sidang pembaca perdananya yang berlatar belakang Yahudi. Dengan kata lain, sidang pembaca kitab ini pasca jemaat pembaca perdana termasuk pembaca modern saat ini hendaknya memahami setiap paparan kebenaran kitab ini dengan menimbang dan memperhatikan sifat Yahudinya baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sifat Yahudi Injil ini, yang menekankan penggenapan erjanjian Lama, dimaksudkan sebagai pembelaan Kristen terhadap orang-orang Yahudi yang tidak percaya… Namun Injil ini tidak memberi kesan seola-olah terutama ditulis untuk orang-orang luar tapi seolah-olah ditulis untuk dipakai oleh orang-orang Kristen untuk memperdalam pengertiannya tentang Kristus, supaya kemudian orang itu dapat menggunakannya dalam usaha pembelaan iman Kristen.
Lembaga Alkitab Indonesia membagi kitab ini atas 28 pasal. Pasal 24 dan 25 disebut sebagai khotbah akhir zaman. Dalam kedua pasal inilah, Matius menguraikan tentang perihal kedatangan Yesus untuk kedua kalinya sehubungan dengan tanda-tanda yang akan menandai kedatangan-Nya serta gambaran situasi pada saat kedatangan-Nya kelak. Dalam pasal 25, semua kebenaran yang berhubungan dengan kedatangan Yesus kali yang kedua dipaparkan dalam bentuk perumpamaan. Dimana pada ayat 1-13, pada intinya mengajak setiap pembaca agar selalu siap sedia dalam menanti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Analogi Yesus tentang gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh dimaksudkan-Nya untuk mempertegas keseriusan permintaan-Nya agar setiap pengikut-Nya selalu mawas diri dalam menyongsong kedatangan-Nya untuk kedua kalinya pada waktu yang tak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Yesus sendiri dalam sifat kemanusiaan-Nya (24:36). Sedangkan dalam ayat 14-30, dalam perumpamaan-Nya tentang talenta, Yesus hendak mengungkapkan apa yang mesti dilakukan oleh para pengikut-Nya pada masa penantian tersebut. Pada prinsipnya, Ia ingin mengatkan bahwa kepada setiap pengikut-Nya telah dikaruniakan talenta/potensi/kemampuan. Banyak sedikitnya adalah hal yang relatif tapi yang pasti adalah bahwa tidak semua pengikut-Nya diberi talenta itu, minimal satu. Talenta inilah yang sekaligus menjadi modal bagi setiap pengikut Kristus untuk berkarya nya di tengah dunia yang sementara ini sembari menanti ketangan Kristus untuk kedua kalinya pada waktu yang tentu itu. Jadi alurnya jelas. Yesus mau agar para pengikut-Nya menantikan kedatangan-Nya dalam keadaan pasif. Ia mengharapkan para penanti yang waspada penuh, siap sedia setiap saat tapi tetap aktif dalam memainkan peran sebagai saksi-Nya sesuai dengan talenta yang telah diberikan-Nya.
Nah, di dalam ayat 31-46 inilah, yang oleh LAI diberi judul penghakiman terahir, Yesus ingin memberikan sebentuk panduan praktis tentang bagaimana seharusnya para pengikut-Nya menggunakan talenta yang diberikan-Nya.
Dalam ayat 31, Yesus memakai istilah Anak Manusia yang menunjuk pada diri-Nya sendiri. Seperti yang telah disinggung sejak awal bahwa para penerima awal Injil ini adalah mereka yang berlatar belakang Yahudi maka istilah ini merupakan salah satu ciri/sifat Yahudi Injil ini khususnya perikop ini. Orang Yahudi merasa enggan untuk menyebut kata Allah kendatipun mereka telah menjadi Kristen. Atas alasan inilah, Matius merasa perlu untuk tidak memakai istilah Anak Allah melainkan Anak Manusia dalam tulisannya. Kecuali itu, menurut George Eldon Ladd, dalam tradisi Injil, sebutan Anak Manusia adalah cara yang paling disukai Yesus untuk menyebut diri-Nya sendiri. Sebutan itupun tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk menyebut Yesus. Injil menempatkan sebutan itu dalam ucapan Yesus lebih dari 65 kali. Para bapak gereja memahami bahwa ungkapan itu pertama-tama ditujukan kepada kemanusiaan Anak Allah yang telah menjelma. Dalam konteks ini pula Yesus ingin menonjolkan kemanusiaan-Nya tapi tak kehilangan kemulian-Nya karena dalam ayat ini pula kata kemuliaan-Nya muncul sebanyak dua kali.
Ayat 32 dqn 33 lebih merupakan sebuah gambaran tentang penghakiman terakhir. Penghakiman itu adalah penghakiman universal bagi semua bangsa (ay 32), walaupun pemisahan domba dan kambing kelihatannya penghakiman atas perorangan (bdk Yeh 34:17).
Ayat 34-41 merupakan konklusi yang disodorkan oleh Yesus bagi para pengikut-Nya dalam berbagai interaksi sosial di manapun mereka berada.

2. Pesan/Releksi Teologis

Para pengikut Kristus, setiap orang percaya baik secara organisme maupun sebagai organisasi dituntut agar dalam masa penantian kedatangan Kristus kedua kalinya, harus punya kepekaan sosial dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun bergereja. Setiap orang Kristen dituntut untuk keluar dari jerat eksklusivisme yang sempit karena Yesus adalah Raja atas semua bangsa (ay 32). Setiap orang percaya hendaknya menyadari bahwa kelak mereka akan berhadapan dengan tahta pengadilan Kristus (ay 34). Sekali lagi yang mau ditekankan di sini bukanlah siapa yamg termasuk domba atau kambingnya tapi yang terpenting adalah bahwa akan ada tahta pengadilan Yesus kelak pada saat kedatangan-Nya yang kedua. Untuk setiap perbuatan yang kecil dan sederhana untuk orang-orang kecil dan sederhana akan mendapat apresiasi atau sebaliknya pada saat kedatangan Kristus (ay 34-46). Denagn kata lain oapad pula dikatakan bahwa penulis Injil Matius ingin mengajak dan menggiring para pembacanya sebagai pengikut Kristus agar tetap setia menanti kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Di tengah masa penantian itu, mereka harus tetap memainkan peran sebagai saksi-saksi-Nya. Mereka harus punya kepekaan sosial yang memadai yang memungkinkan mereka untuk berbela rasa dengan orang-orang kecil atau sederhana (kaum marjinal/proletar).

3. Penerapan/Aplikasi Praktis
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bawha dalam kehidupan kita baik dalam ranah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bergereja terdapat jurang kesenjangan sosial yang menganga lebar dan nyaris tak terjembatani. Jurang antara yang miskin dan yang kaya semakin lebar. Hal ini sekaligus menjadi batu uji bagi gereja dalam menghadirkan dirinya sebagai pengikutt Kristus.
Punulis Injil Matius ingin menggugah nurani kekristenan kita untuk peka dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan kebangsaan dan kegerejaan yang nyaris terkoyak oleh semangat primordialisme yang kaku dan mematikan. Dalam kemanusiaan-Nya tanpa kehilangan kemuliaan-Nya, Yesus ingin mengingatkan kepada kita bahwa akan ada penghakiman pada saat kedatangan-Nya kembali. Sekali lagi tugas kita bukanlah untuk mencari dan menentukan manakah yang termasuk dalam bilangan domba-domba atau sebaliknya kambing-kambing. Tugas kita bukanlah untuk memvonis sembari ‘mengetuk palu’ untuk menghakimi sebagai ‘hakim-hakim kecil’. Celakanya, gereja-gereja dalam konteks Indonesia mudah terbawa dalam pola ini. 324 oraganisasi gereja yang tercatat di Departemen Agama boleh dikatakan sebagai jumlah yang membesarkan dada tapi pada saat yang sama jumlah itu menjadi keprihatinan tersendiri karena sulitnya untuk bersatu disebabkan oleh klaim eksklusif dari masing-masing organisasi yang melihat dirinya sebagai yang paling benar (domba) dan yang lain sebagai yang salah/sesat (kambing). Bahkan ada anekdot: ‘orang kristen itu menyanyi harus lembut (seperti domba). Jadi kalau ada orang Kristen yang menyanyi dengan suara yang nyaring dan melengking maka itu adalah kambing’. Atau ada gereja yang ‘memonopoli’ Roh Kudus dan menganggap yang lain tak ada Roh Kudusnya.
Pada saat yang sama gereja menyadari bahwa bingkai kehidupan kebangsaan dalam konteks NKRI ternoda oleh berbagai krisis kemanusiaan yang memilukan. Angka kemiskinan yang makin tinggi seiring dengan PHK secara besar-besaran sebagai dampak langsung dari krisis keuangan global merupakan realita yang tak terbantahkan. Penggusuran di beberapa tempat menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang harus kehilangan tempat tinggal.
Sebagai orang Kristen, kita seharusnya punya kepekaan sosial, kepekaan nurani kristiani untuk berbela rasa dengan mereka yang terpinggirkan, mereka yang termarjinalkan. Kita tidak harus selalu membiarkan banyak perhatian/waktu kita tersita, banyak energi kita tersedot hanya untuk mengurusi perkara-perkara/’orang-orang besar’ baik bersifat internal maupun eksternal gereja.
Di tengah pengharapan dan penantian kita untuk kedatangan Yesus pada kedua kalinya, kita dituntut untuk peka melihat kehadiran Kristus yang kadang-kadang menjelma dalam diri sesama kita tertindas/terpinggirkan, yang bisa saja mereka bukan/belum menjadi Kristen. Pengharapan kita akan kedatangan Kristus adalah pengharapan sejati yang memungkinkan kita tetap menjadi Kristen sampai hari ini kendatipun kita tahu bahwa gereja dibakar di mana-mana, banyak orang Kristen yang terbunuh, bahkan kita sering dihina, diejek, dikucilkan dan sebagainya. Kita berharap dan menanti saat itu tiba namun dalam masa penantian ini kita tak boleh melalaikan tugas/tanggung jawab dan panggilan kita sebagai kaum tertebus. Kita mesti terus mengasah kepekaan sosial dan kepekaan nurani kristiani kita dalam berbagai interaksi sosial di manapun Tuhan menempatkan kita.
Kita diharapkan agar tak mudah terperangkap dalam jerat rutinisme religius yang dapat mengerdilkan bahkanmematikan kerohanian kita sekaligus munumpulkan ketajaman nurani kristiani kita. Biarlah di tengah rangkain aktivitas gerejawi yang kita lakukan, kita tetap punya kepekaan sosial untuk berbagi dengan setiap mereka yang membutuhkan uluran tangan kita secara khusus bagi kaum proletar yang terpinggirkan. Biarlah pula di tengah kondisi ketidakberpihakan negara pada kaum terpinggirkan itu, kita tetap menunjukkan keberpihakan kita, empati kita pada mereka. Bukankah hal itu yang dilakukan oleh Yesus semasa hidup dan pelayanan-Nya? Bukankah itu pula yang diharapkan oleh Yesus dari masing-masing kita melalui Iniil Matius 25:31-46 ini?

PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR - Oleh Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D.

LAPORAN BUKU Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. PENGABARAN INJIL DI PULAU TIMOR Suatu studi mengenai Gereja Masehi Injili di Timor dal...